Saturday, March 15, 2008

Hukum Bunga Bank

RIBA. BAGAIMANA HUKUMNYA?

By: Moh. Makmun, M.HI.

Bank adalah sebuah fasilitas bagi semua orang, baik bagi orang yang menabung maupun orang yang akan meminjam uang. Akan tetapi, kemudian muncul beberapa permasalahan yang mengakibatkan perbedaan pendapat mengenai uang tambahan dari bank (bunga bank). Kontroversi seputar bunga bank tidak terlepas dari wacana keharaman riba, Apakah tambahan tersebut (bunga) termasuk dalam kategori riba atau bukan menjadi bagian dari riba. Oleh karena itu, agar pembahasan tentang bunga bank mendapat pemahaman yang utuh dan menyeluruh, untuk itu persoalan riba harus dikemukakan terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan keduanya saling terkait erat.

Beberapa ulama dan cendekiawan telah lama membahas permasalahan tersebut, akan tetapi belum ada kesepakatan yang jelas. Di satu sisi ada yang mengatakan bunga bank tersebut sama dengan riba dan di sisi lain ada yang menganggap bukan termasuk kategori riba. Untuk itu, berikut ini akan penulis ulas berdasarkan al-Qur’an dan hadis serta pendapat dari beberapa sahabat Nabi dan tabi’in serta para ulama’ dan cendekiawan.

PEMBAHASAN

A. Riba

  1. Pengertian Riba

Berdasarkan ayat al-Qur’an dan hadis, dapat diketahui bahwa riba adalah tindakan merugikan orang lain baik melalui harta atau ucapan yang menyakitkan terhadapa orang muslim.

Secara harfiah riba artinya adalah al-ziya>dah (tambahan). Dari segi bahasa, bermakna tambahan atau kenaikan. Secara istilah, ia bermakna penambahan nilai ke atas suatu pinjaman yang disyaratkan oleh pemberi pinjaman atau dijanjikan oleh penerima pinjaman ketika dalam pertukaran setengah barang, ia bermakna perbedaan nilai akibat kuantitas yang berbeda ataupun perbedaan waktu pertukaran.[1]

Pendapat Al-Jurjani berkenaan dengan pengertian riba adalah:

Riba menurut syar’i adalah kelebihan atau tambahan pembayaran tanpa ada ganti rugi atau imbalan, yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad atau transaksi”.[2]

  1. Riba Dalam Pandangan Al-Qur’an Dan Hadis

a. Pengharaman Riba

Sebelum Allah SWT. menegaskan larangan-Nya terhadap riba, pertama kali Allah SWT. membuat bantahan tentang nilai tambah riba dengan membedakan antara riba dengan zakat. Riba tidak ada nilai kebaikannya disisi Allah SWT., tetapi zakat dilakukan karena Allah SWT. akan mendapat pahala yang berlipat ganda disisi Allah SWT. hal ini dimaksudkan untuk merubah pola pikir masyarakat Mekkah saat diturunkan ayat tentang riba. Sebagaimana ayat pertama kali turun tentang riba, yaitu :

وَمَا ءَاتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا ءَاتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ(39)

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (Qs. Ar-Rum: 39)

Selain itu, Allah SWT. membedakan antara riba dengan shadaqah dengan menyatakan bahwa riba menghilangkan kebaikan harta, tetapi shadaqah akan menyuburkan (kebaikan) harta. Sebagaimana dijelaskan di dalam surat al-Baqarah 276:

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ(276)

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (Qs. al-Baqarah :276)

Selanjutnya Allah SWT. membedakan riba dengan jual beli dari segi tuntutannya. Sebagaimana surat al-Baqarah 275:

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ(275)

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Qs. Al-Baqarah: 275)


Namun larangan tentang riba dalam al-Qur’an dapat ditemukan sejak nabi Isa terhadap orang-orang Yahudi, sebagaimana dijelaskan dalam surat an-Nisa’ 161:

وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا(161)

“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (Qs. An-Nisa’: 161)

Kemudian Allah SWT. melarang orang-orang yang beriman memakan riba secara berlipat ganda, sebagaimana yang dijelaskan dalam surat Ali Imran 130:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ(130)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Qs. Ali Imran: 130)


Selanjutnya, Allah SWT. memerintahkan orang-orang yang beriman untuk meninggalkan sisa-sisa (tagihan) riba dan mengancam orang yang meneruskannya (tetap melaksanakan) dengan perlawanan (peperangan) dari Allah SWT. dan Rasul-Nya. Jika berhenti (bertaubat) maka bagi mereka pokok harta dan dianggap sebagai orang-orang yang tidak merugikan dan dirugikan secara ekonomi. Sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Baqarah 278-279:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ(278)فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ(279)

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Qs. Al-Baqarah: 278-279)

Ketika ayat tentang riba yang terdapat pada akhir surat al-Baqarah di atas, Rasulullah Saw., keluar ke masjid dan membacakan surat tersebut kepada umat Islam. Sebagaimana dijelaskan di dalam shahih Bukhari no. 439

حَدَّثَنَا عَبْدَانُ عَنْ أَبِي حَمْزَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ مُسْلِمٍ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ لَمَّا أُنْزِلَتْ الْآيَاتُ مِنْ سُورَةِ الْبَقَرَةِ فِي الرِّبَا خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَقَرَأَهُنَّ عَلَى النَّاسِ ثُمَّ حَرَّمَ تِجَارَةَ الْخَمْرِ

Artinya: dari Aisyah berkata, bahwa ketika ayat riba pada surah al-Baqarah turun, Rasulullah Saw keluar ke masjid untuk membacakan ayat tersebut kepada orang-orang yang ada di masjid tersebut, kemudian juga mengharamkan perdagangan khamr″ (HR. Bukhari)

Kemudian ditegaskan oleh Rasulullah Saw., bahwa ayat tentang riba termasuk salah satu dari sembilan ayat yang jelas. Sebagaimana dijelaskan dalam sunan an-Nasa’I No. 4010:

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ عَنْ ابْنِ إِدْرِيسَ قَالَ أَنْبَأَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ صَفْوَانَ بْنِ عَسَّالٍ قَالَ قَالَ يَهُودِيٌّ لِصَاحِبِهِ اذْهَبْ بِنَا إِلَى هَذَا النَّبِيِّ قَالَ لَهُ صَاحِبُهُ لَا تَقُلْ نَبِيٌّ لَوْ سَمِعَكَ كَانَ لَهُ أَرْبَعَةُ أَعْيُنٍ فَأَتَيَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَأَلَاهُ عَنْ تِسْعِ آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ فَقَالَ لَهُمْ لَا تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا تَسْرِقُوا وَلَا تَزْنُوا وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا تَمْشُوا بِبَرِيءٍ إِلَى ذِي سُلْطَانٍ وَلَا تَسْحَرُوا وَلَا تَأْكُلُوا الرِّبَا وَلَا تَقْذِفُوا الْمُحْصَنَةَ وَلَا تَوَلَّوْا يَوْمَ الزَّحْفِ وَعَلَيْكُمْ خَاصَّةً يَهُودُ أَنْ لَا تَعْدُوا فِي السَّبْتِ فَقَبَّلُوا يَدَيْهِ وَرِجْلَيْهِ وَقَالُوا نَشْهَدُ أَنَّكَ نَبِيٌّ قَالَ فَمَا يَمْنَعُكُمْ أَنْ تَتَّبِعُونِي قَالُوا إِنَّ دَاوُدَ دَعَا بِأَنْ لَا يَزَالَ مِنْ ذُرِّيَّتِهِ نَبِيٌّ وَإِنَّا نَخَافُ إِنْ اتَّبَعْنَاكَ أَنْ تَقْتُلَنَا يَهُودُ

Dari Shafwan bin Assal berkata, bahwa seorang yahudi berkata kepada temannya : Mari kita pergi ke Nabi, maka salah satunya berkata: Jangan berkata Nabi sebelum kamu bertemu dengan empat mata. Kemudian dua orang itu mendatangi Rasulullah Saw dan bertanya tentang sembilan ayat yang jelas, maka Rasulullah Saw bersabda: ″Jangan menyekutukan Allah dengan sesuatu, jangan mencuri, jangan berzina, jangan membunuh orang yang tidak dibenarkan dibunuh, jangan memfitnah orang lain melalui penguasa untuk membunuhnya atau menganaiayanya, jangan menyihir, jangan memakan riba, jangan menuduh orang yang baik melakukan zina, jangan lari dari medan tempur dan khusus untuk orang-orang Yahudi jangan melampaui batas pada hari Sabtu. Kemudian orang-orang yahudi memegang tangan dan kaki Nabi sambil bersaksi atas kenabian Muhammad. Kemudian Rasulullah Saw bersabda: ″mengapa kalian semua tidak mengikutiku? Mereka menjawab: memang Nabi Daud telah menjelaskan bahwa dari keturunannya masih ada yang menjadi Nabi, tapi kalau kami mengikutimu, kami takut orang-orang yahudi akan membunuh kami semua.

Larangan tersebut tidak hanya ditujukan kepada orang-orang yang melakukan riba secara langsung, akan tetapi juga termasuk yang membantunya juga dilarang, sebagaimana dijelaskan dalam Shahih Bukhari no. 1944:

حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَوْنِ بْنِ أَبِي جُحَيْفَةَ قَالَ رَأَيْتُ أَبِي اشْتَرَى عَبْدًا حَجَّامًا فَسَأَلْتُهُ فَقَالَ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَثَمَنِ الدَّمِ وَنَهَى عَنْ الْوَاشِمَةِ وَالْمَوْشُومَةِ وَآكِلِ الرِّبَا وَمُوكِلِهِ وَلَعَنَ الْمُصَوِّرَ

Dari Aun bin Abi Juhaifah berkata, saya melihat bapakku membeli seorang hamba yang pandai mencanduk (mengeluarkan darah kotor) kemudian aku tanya, maka bapakku menjawabnya: Nabi Saw., melarang harga anjing, harga darah dan melarang tato dan pantato dan pemakan riba dan pembantunya dan Rasulullah Saw Saw., melaknat pematung sesembahan.

a. Macam-Macam Riba

Berdasarkan pelacakan atas hadis Nabi Muhammad Saw., maka dapat ditemukan macam-macam riba, yaitu :

Pertama, riba jahiliyyah, yaitu yang menindas atau merugikan orang lain. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis shahih yang terdapat dalam Sunan Abu Daud no. 2896:

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ حَدَّثَنَا شَبِيبُ بْنُ غَرْقَدَةَ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ يَقُولُ أَلَا إِنَّ كُلَّ رِبًا مِنْ رِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ لَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ أَلَا وَإِنَّ كُلَّ دَمٍ مِنْ دَمِ الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ وَأَوَّلُ دَمٍ أَضَعُ مِنْهَا دَمُ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ كَانَ مُسْتَرْضِعًا فِي بَنِي لَيْثٍ فَقَتَلَتْهُ هُذَيْلٌ قَالَ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ قَالُوا نَعَمْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ قَالَ اللَّهُمَّ اشْهَدْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ

Dari Musaddad dari abu al-Ahwash dari Sabib Ghurqadah dari Sulaiman bin Amr dari Bapaknya, bahwa dia mendengar Rasulullah Saw., bersabda pada waktu haji Wada’, bahwa setiap riba yang dipraktekkan pada zaman Jahiliyah hendaknya dihindari, bagimu modalmu, sehingga kamu tidak menindas atau merugikan dan ditindas atau dirugikan dan hendaknya mengalir darah (saling bunuh) pada zaman Jahiliyah dihindarkan, yang harus dihindarkan pertama kali adalah darah Haris bin Abd. Muthalib.

Kedua, jual beli secara tempo (hutang), bukan jual beli secara kontan. Sebagaimana dijelaskan oleh hadis dalam Musnad Ahmad no. 20748:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ وَعَفَّانُ قَالَا ثَنَا وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ طَاوُسٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا رِبَا فِيمَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ قَالَ يَعْنِي إِنَّمَا الرِّبَا فِي النَّسِيئَةِ

Dari Usamah bin Zaid, bahwa Rasulullah Saw., bersabda: “Bukanlah riba jika jual beli secara kontan, tetapi riba itu terjadi pada jual beli secara tempo (hutang). (HR. Ahmad)

Ketiga, tukar menukar barang yang sama jenisnya dengan tambahan. Sebagaimana yang terdapat di dalam Shahih Bukhari no. 2025:

حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَوْسٍ سَمِعَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ

Dari Umar RA. Dari Nabi Muhammad Saw., “Tukar menukar gandum yang sejenis itu riba (jika lebih ukuran dan timbangannya) kecuali sama ukuran dan timbangannya, begitu juga pada kurma riba kecuali sama timbangan dan ukurannya.

Rasulullah Saw., menjelaskan, bahwa jika hendak menukar sesuatu yang sejenis, tetapi tidak sama ukurannya atau timbangannya, maka hendaklah dilakukan dengan cara menjual terlebih dahulu kemudian membeli yang lain. Sebagaimana dijelaskan dalam Shahih Bukhari bab wakalah no. 2145:

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ هُوَ ابْنُ سَلَّامٍ عَنْ يَحْيَى قَالَ سَمِعْتُ عُقْبَةَ بْنَ عَبْدِ الْغَافِرِ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ بِلَالٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِتَمْرٍ بَرْنِيٍّ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَيْنَ هَذَا قَالَ بِلَالٌ كَانَ عِنْدَنَا تَمْرٌ رَدِيٌّ فَبِعْتُ مِنْهُ صَاعَيْنِ بِصَاعٍ لِنُطْعِمَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ أَوَّهْ أَوَّهْ عَيْنُ الرِّبَا عَيْنُ الرِّبَا لَا تَفْعَلْ وَلَكِنْ إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَشْتَرِيَ فَبِعْ التَّمْرَ بِبَيْعٍ آخَرَ ثُمَّ اشْتَرِهِ

Dari Uqbah bin Abd Ghafir mendengar dari Sa’íd al-Khudriy Ra. Berkata: Bilal dating kepada Nabi Saw., dengan membawa kurma Barniy (yang baik), maka Rasulullah Saw bertanya: Dari mana ini ? Bilal menjawab, saya punya kurma yang jelek, maka aku tukar dua Sha’ (sebuah satuan ukuran di Madinah) dengan satu Sha’ untuk makan Nabi Saw., kemudian Nabi Saw., bersabda ketika itu, Hati-hati dengan masalah riba, jangan lakukan ! akan tetapi jika kamu ingin membeli kurma yang baik, maka jual dahulu kurma yang jelek baru kamu membeli kurma yang baik.(HR. Bukhari)

Keempat. Jual beli dengan cara indent (pembayaran barang terlebih dahulu dan penyerahan barang kemudian). Apabila dilakukan terhadap anak onta perempuan yang masih dalam kandungan induknya termasuk riba, sebagaimana dalam Sunan Nasa’i no. 4543

أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ حَكِيمٍ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ السَّلَفُ فِي حَبَلِ الْحَبَلَةِ رِبًا

Dari Yahya bin Hakim dari Muhammad bin Ja’far dari Syu’bah dari Ayub dari Sa’id bin Jubair dari Ibn Abbas dari nabi Muhammad bersabda: Jual beli pesanan (indent) terhadap janin unta adalah riba. (HR. Nasa’i)

Adapun berdasarkan pandangan jumhur ulama, maka riba ada dua macam, yaitu riba nasi’ah dan riba fadhl.[1] Riba nasi’ah adalah riba yang terjadi karena penundaan pembayaran hutang, suatu jenis riba yang diharamkan karena keharaman jenisnya atau keadaannya sendiri. Sedangkan riba fadhl adalah riba yang diharamkan karena sebab lain, yaitu riba yang terjadi karena adanya tambahan pada jual beli benda atau bahan yang sejenis.[2]

b. Hukuman Bagi Pelaku Riba

Dalam hadis Nabi Muhammad Saw., ditemukan beberapa penjelasan tentang hukuman bagi mereka yang melakukan praktek riba antara lain:

Pertama, keadaan pemakan riba nanti diakhirat berada ditengah-tengah sungai yang airnya berupa darah dan ketika akan keluar dari sungai itu, ia dilempari batu oleh seseorang, hal ini disaksikan Rasulullah Saw., pada malam isra’ mi’raj. Sebagaimana dijelaskan dalam Shahih Bukhari no. 1943:

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ حَدَّثَنَا أَبُو رَجَاءٍ عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ رَجُلَيْنِ أَتَيَانِي فَأَخْرَجَانِي إِلَى أَرْضٍ مُقَدَّسَةٍ فَانْطَلَقْنَا حَتَّى أَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ مِنْ دَمٍ فِيهِ رَجُلٌ قَائِمٌ وَعَلَى وَسَطِ النَّهَرِ رَجُلٌ بَيْنَ يَدَيْهِ حِجَارَةٌ فَأَقْبَلَ الرَّجُلُ الَّذِي فِي النَّهَرِ فَإِذَا أَرَادَ الرَّجُلُ أَنْ يَخْرُجَ رَمَى الرَّجُلُ بِحَجَرٍ فِي فِيهِ فَرَدَّهُ حَيْثُ كَانَ فَجَعَلَ كُلَّمَا جَاءَ لِيَخْرُجَ رَمَى فِي فِيهِ بِحَجَرٍ فَيَرْجِعُ كَمَا كَانَ فَقُلْتُ مَا هَذَا فَقَالَ الَّذِي رَأَيْتَهُ فِي النَّهَرِ آكِلُ الرِّبَا

Dari Samurah bin Jundab berkata, bahwa Rasulullah Saw., melihat pada malam (isra’) dua orang yang membawanya ke tempat yang disucikan, kemudian dua orang itu membawa kami ke sungai yuang airnya berupa darah yang ditengah-tengah sungai itu ada seseorang yang ketika akan keluar dari sungai itu dilempari batu oleh orang lain, begitulah berkali-kali dilakukan, maka Rasulullah Saw., bertanya: Mengapa ini ?, Jibril menjawab: “Apa yang kamu lihat disungai itu adalah pemakan riba.’. (HR. Bukhari)

Kedua, orang yang mengumpulkan harta yang banyak melalui riba tetap akan merasa sedikit sebagai akibatnya. Sebagaimana dijelaskan di dalam Sunan Ibnu Majah no. 2270:

حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَوْنٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي زَائِدَةَ عَنْ إِسْرَائِيلَ عَنْ الرُّكَيْنِ بْنِ الرَّبِيعِ بْنِ عُمَيْلَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَحَدٌ أَكْثَرَ مِنْ الرِّبَا إِلَّا كَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهِ إِلَى قِلَّةٍ

Dari Ibn Mas’ud dari Nabi Muhammad Saw., bersabda: ″Sesuatu yang di dapat oleh seseorang melalui riba meskipun banyak tetap akan merasa sedikit sebagai akibatnya″ (HR. Ibnu Majah)

Ketiga, pemakan riba siksanya lebih keras dari siksa penzina 36 kali perzinahan. Sebagaimana dijelaskan dalam Musnad Ahmad no. 20951:

حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ يَعْنِي ابْنَ حَازِمٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنِ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَنْظَلَةَ غَسِيلِ الْمَلَائِكَةِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْهَمٌ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلَاثِينَ زَنْيَةً

Dari Abdullah bin Hanthalah Ghasil al-Malaikah berkata, bahwa Rasulullah Saw., bersabda: ″Satu dirham yang didapat dari riba apabila dimakan oleh seseorang dan ia mengetahuinya, maka siksanya lebih keras dari 36 perzinahan.’ (HR. Ahmad)

Keempat, pemakan riba saat dibangkitkan dari kuburnya menyerupai monyet atau babi. Sebagaimana dijelaskan di dalam Musnad Ahmad no. 21275:

حَدَّثَنَا الْهَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ حَدَّثَنَا الْفَرَجُ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ يَزِيدَ عَنْ الْقَاسِمِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ بَعَثَنِي رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ وَأَمَرَنِي رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ بِمَحْقِ الْمَعَازِفِ وَالْمَزَامِيرِ وَالْأَوْثَانِ وَالصُّلُبِ وَأَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ وَحَلَفَ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ بِعِزَّتِهِ لَا يَشْرَبُ عَبْدٌ مِنْ عَبِيدِي جَرْعَةً مِنْ خَمْرٍ إِلَّا سَقَيْتُهُ مِنْ الصَّدِيدِ مِثْلَهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَغْفُورًا لَهُ أَوْ مُعَذَّبًا وَلَا يَسْقِيهَا صَبِيًّا صَغِيرًا ضَعِيفًا مُسْلِمًا إِلَّا سَقَيْتُهُ مِنْ الصَّدِيدِ مِثْلَهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَغْفُورًا لَهُ أَوْ مُعَذَّبًا وَلَا يَتْرُكُهَا مِنْ مَخَافَتِي إِلَّا سَقَيْتُهُ مِنْ حِيَاضِ الْقُدُسِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يَحِلُّ بَيْعُهُنَّ وَلَا شِرَاؤُهُنَّ وَلَا تَعْلِيمُهُنَّ وَلَا تِجَارَةٌ فِيهِنَّ وَثَمَنُهُنَّ حَرَامٌ يَعْنِي الضَّارِبَاتِ

Dari Abdurrahman bin Ghanam dari Rasulullah Saw., berkata, dan dari Sa’d bin Musayyab dari Ibn Abbas dari Rasulullah Saw., bahwa beliau bersabda: ″Yang jiwa Muhammad ditangan-Nya apabila umatku tetap tidak bersyukur dan sombong serta main-main dan sendagurau, maka mereka menjadi monyet dan babi, karena menghalalkan sesuatu diharamkan dan meminum khamr dan memakan riba serta memakai sutra″ (HR. Ahmad)

c. Beberapa Pendapat Sahabat Seputar Riba

Ada beberapa pendapat sahabat Nabi Muhammad Saw., berkenaan dengan riba, antara lain adalah :

Pertama: Pendapat Umar bin Khattab, ia mengatakan bahwa tentang setiap tambahan termasuk riba. Sebagaimana dijelaskan dalam Muawatha’ Malik no. 1148:

و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ لَا تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقِ بِالْوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالذَّهَبِ أَحَدُهُمَا غَائِبٌ وَالْآخَرُ نَاجِزٌ وَإِنْ اسْتَنْظَرَكَ إِلَى أَنْ يَلِجَ بَيْتَهُ فَلَا تُنْظِرْهُ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ الرَّمَاءَ وَالرَّمَاءُ هُوَ الرِّبَا

Dari Malik dari Nafi’ dari Abdillah bin Umar bahwa Umar bin Khattab berkata: Jangan menjual emas kecuali sama (melalui tukar menukar) dan jangan menambah sesuatu atas lainnya, jangan menjual perak dengan perak kecuali sama (melaui tukar menukar) dan jangan menambah satu atas yang lainnya dan janganlah menjual emas dengan perak yang salah satunya tidak ada saat transaksi (tidak diketahui ukurannya dan jenisnya), maka tidak ada salah satu barangnya dalam tukar menukar hendaknya tidak dilakukan, karena saya takut menambah sesuatu dan menambah sesuatu termasuk riba. (HR. Malik)

Kedua, Pendapat sahabat Abdullah bin Salam tentang daerah yang sudah tersebar masalah riba, hendaknya jangan menerima pemberian dari orang, karena termasuk riba. Sebagaimana terdapat dalam Shahih Bukhari no. 3530:

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِيهِ أَتَيْتُ الْمَدِينَةَ فَلَقِيتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ سَلَامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ أَلَا تَجِيءُ فَأُطْعِمَكَ سَوِيقًا وَتَمْرًا وَتَدْخُلَ فِي بَيْتٍ ثُمَّ قَالَ إِنَّكَ بِأَرْضٍ الرِّبَا بِهَا فَاشٍ إِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ فَأَهْدَى إِلَيْكَ حِمْلَ تِبْنٍ أَوْ حِمْلَ شَعِيرٍ أَوْ حِمْلَ قَتٍّ فَلَا تَأْخُذْهُ فَإِنَّهُ رِبًا وَلَمْ يَذْكُرِ النَّضْرُ وَأَبُو دَاوُدَ وَوَهْبٌ عَنْ شُعْبَةَ الْبَيْتَ

Dari Said bin Burdah dari bapaknya yang datang ke kota (Irak) dan bertemu dengan Abdullah bin Salam bahwa kamu datang akan aku beri makan dan kurma kemudian masuk rumahnya (Abd Salam), kemudian berkata : kamu berada dikota (Irak) yang sudah tersebar masalah masalah riba, maka jika kamu menerima hadiah dari seseorang sekarung gandum atau seekor binatang, maka jangan di ambil karena termasuk riba″

d. Beberapa Pendapat Seputar Riba dan Bunga Bank

Menurut Muhammad Syaltut, bahwa dia tidak pernah membolehkan bunga riba, hanya beliau pernah mengatakan “Bila keadaan darurat –baik darurat individu maupun darurat ijtima’iyah– maka bolehlah dipungut bunga itu.” Dalam hal ini beliau memperluas makna darurat melebihi yang semestinya. Yang pernah beliau fatwakan juga ialah menabung di bank sebagai sesuatu yang lain dari bunga bank.[3]

Fatwa MUI yang mengeluarkan statement bahwa bunga bank adalah riba dan haram dan juga dengan perkembangan bank syariah di negara Indonesia yang dapat dikatakan solusi untuk mengantisipasi terhadap bunga bank tersebut atau dengan istilah dual system yaitu sistem konvensional dan sistem syari’ah. Apabila hal di atas dinilai memang baik, akan tetapi untuk dikaitkan dengan debitur atau usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang akan meminjamkan dana usaha kepada bank di atas tsb, maka banyak keluhan dengan segala macam birokrasinya yang sukar, dan ditingkat kecamatan ada yang difokuskan oleh UMKM untuk meminjam dana usaha karena sedikit lebih mudah yaitu BKM. Akan tetapi, disayangkan karena masih menggunakan sistem bunga, meskipun dengan bunga yang rendah yaitu 1,5 %. Melihat hal tsb dan dikaitkan dengan fatwa MUI yang mengeluarkan statement bunga riba dan haram, bagaimanakah hal ini terjadi karena BKM adalah lembaga milik pemerintah sedangkan mayoritas rakyat Indonesia adalah Muslim dan yang namanya haram (Na'udzubillah min zalik) jangan sampai dikerjakan karena dapat menjerumuskan ke dalam neraka.[4]

Sedangkan menurut PP Muhammadiyah[5] telah menyatakan, bahwa bunga bank hukumnya adalah haram. Ketetapan tersebut ditegaskan dalam Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah No. 8 Tahun 2006 yang diterbitkan akhir Juni silam.[6]

Adapun menurut Lajnah Bahtsul Masa’il NU, bunga bank dan sejenisnya sudah muncul sejak Muktamar II (Surabaya, 9-11 Oktober 1927). Pada saat itu, dikemukakan tiga pendapat berkenaan dengan bunga bank, yaitu: haram, halal dan Syubhat. [7] Tidak hanya sampai di situ, permasalhan riba dan bunga bank masih dibahas pada Muktamar XII (Magelang, 20-24 Juni 1937), Muktamar XIV (Magelang, 15-21 Juli 1939), Keputusan Konferensi Besar Syuriyah NU (Surabaya, 19 Maret 1957), Muktamar XXV (Surabaya, 20-25 Desember 1971) dan pembahasan ini mencapai klimaksnya pada Munas Alim Ulama NU di Bandar Lampung (21-25 Juni 1992), ketika metode Manhajiy resmi diputuskan untuk diterapkan dalam Lajnah Bahtsul Masa’il. Metode ini untuk pertama kalinya dipakai dalam menyelesaikan masalah bunga bank.[8]

Para musyawirin masih berbeda pendapatnya tentang hukum bunga bank konvensional sebagai berikut :

a. Ada pendapat yang mempersamakan antara bunga bank dengan riba secara mutlak, sehingga hukumnya haram.

b. Ada pendapat yang tidak mempersamakan antara bunga bank dengan riba, sehingga hukumnya boleh.

c. Ada pendapat yang mengatakan hukumnya shubhat (tidak indentik dengan haram).

Pendapat pertama dengan beberapa variasi antara lain sebagai berikut :

a. Bunga itu dengan segala jenisnya sama dengan riba, sehingga hukumnya haram.

b. Bunga itu sama dengan riba dan hukumnya haram. Akan tetapi, boleh dipungut sementara belum beroperasinya system perbankan yang islami (tanpa bunga).

c. Bunga itu sama dengan riba, hukumnya haram. Akan tetapi boleh dipungut sebab adanya kebutuhan yang kuat (Hajah rojihah).

Pendapat kedua juga dengan beberapa variasi antara lain sebagai berikut:

a. Bunga konsumtif sama dengan riba, hukumnya haram, dan bunga produktif tidak sama dengan riba, hukumnya halal.

b. Bunga yang diperoleh dari bank tabungan giro tidak sama dengan riba, hukumnya halal.

c. Bunga yang diterima dari deposito yang dipertaruhkan ke bank hukumnya boleh.

d. Bunga bank tidak haram, kalau bank itu menetapkan tarif bunganya terlebih dahulu secara umum.

B. Bunga Bank

Bank adalah termasuk tempat untuk menyimpan uang yang tidak dibutuhkan oleh pemiliknya. Dan uang tersebut adalah merupakan modal yang besar untuk membantu negara dan masyarakat dalam mewujudkan adanya pembangunan dan kemakmuran. Dengan pertukaran uang tersebut, maka sesungguhnya para penabung dan bank itu sendiri telah mengadakan kerjasama dalam kebaikan, yang mana semua orang dapat memanfaatkannya.[9]

Sementara itu, menurut Munawir Sjadzali, sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Zahro, bahwa dia mengatakan:

Bank adalah suatu lembaga yang terhormat, dan sistem bunga adalah satu mekanisme bank untuk pengelolaan modal masyarakat….. kemudian bank meminjamkan dana itu kepada anggota masyarakat lain yang membutuhkan modal usaha untuk jangka waktu tertentu…. Dia akan mendapat keuntungan dari usahanya yang dimodali oleh bank itu.

Dengan menitipkan uang atau modal kepada bank untuk jangka waktu tertentu, pemilik modal akan kehilangan haknya untuk mempergunakan daya beli dari modalnya untuk jangka waktu yang sama. Sebaliknya yang meminjam dana itu dari bank, yang tidak lain berasal dari modal titipan tadi, mendapatkan hak untuk memanfaatkan daya beli dari dana yang dia pinjam, dan pemanfaatan dana itu untuk modal usaha yang akan membawa keuntungan. Tidak jarang bahwa modal yang pindah tangan untuk sementara waktu itu meliputi jumlah yang besar.

Berdasarkan prinsip jangan ada pihak yang dirugikan, tidaklah adil jika pemilik asli modal yang kehilangan hak untuk mempergunakan daya beli dari modalnya untuk jangka waktu tertentu itu tidak mendapatkan imbalan atau kompensasi dari “pengorbanannya” itu, sementara itu, peminjam dana yang menggunakannya untuk modal usaha dan beruntung itu tidak harus membagi keuntungannya dengan pemilik asli modal.[10]

Adapun perbedaan bunga bank (dalam bank konvensional) dan bagi hasil (dalam bank syari’ah) adalah :

ü Penentuan bunga ditentukan pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung. Sementara besarnya rasio bagi hasil ditentukan pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung dan rugi.

ü Besarnya prosentase berdasarkan jumlah uang/modal yang dipinjamkan. Sementara, rasio bagi hasil berdasarkan jumlah keuntungan yang diperoleh.

ü Pembayaran bunga tetap seperti dijanjikan tidak peduli apakah proyek yang dijalankan nasabah untung atau rugi. Sementara dalam bagi hasil untung dan rugi ditanggung bersama.

ü Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat meskipun jumlah keuntungan berlipat/keadaan ekonomi sedang boming. Sementara jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.

ü Eksistensi bunga diragukan atau bahkan dikecam oleh umat Islam. Sementara, tidak ada yang meragukan bagi hasil.[11]

C. Analisis

Sebelum menjelaskan masalah bunga bank dalam realitas sosial saat ini, perlu dikemukakan terlebih dahulu praktek transakasi tambahan (riba/bunga) dalam realitas sosial zaman Jahiliyyah sebelum ayat tentang riba diturunkan. Hal ini dimaksudkan agar dapat diketahui dengan jelas perbedaan praktek transaksi tambahan riba (bunga) pada masa Nabi Muhammad Saw., dan saat ini.

Sejarah mencatat bahwa kota Thaif merupakan daerah yang subur serta merupakan salah satu pusat perdagangan antara suku tersebut dengan suku-suku yang lainnya, terutama suku Quraisy yang bermukim di Mekkah. Di Thaif bermukim orang-orang Yahudi yang telah mengenal praktek-praktek riba (bunga), sehingga keberadaan mereka di sana menumbuh suburkan praktek tersebut.[12]

Suku Quraisy yang ada di Mekkah juga terkenal dengan aktivitas perdagangan bahkan al-Qur’an menginformasikan hal tersebut dalam surah al-Quraisy (106). Di sinipun mereka telah mengenal praktek-praktek riba (bunga), hal ini dibuktikan dengan sebagian dari sahabat Nabi Muhammad Saw., seperti Khalid bin Walid dan lain-lainnya mempraktekkan riba sampai turunya larangan tersebut dan terbukti pula dengan keheranan kaum musyrikin terhadap larangan praktek riba (bunga) yang mereka anggap sama dengan jual beli (Al-Baqarah: 275) dalam arti mereka beranggapan bahwa tambahan yang diperoleh dari modal yang dipinjamkan tidak lain kecuali sama dengan keuntungan hasil perdagangan.[13]

Sedangkan praktek riba (bunga) yang ada pada realitas sosial saat ini ada tiga bentuk:

v Riba (bunga) yang berlipat ganda, seperti yang dilakukan oleh para rentenir yang keliling dengan mematok bunga sebesar 100 % dari pinjamannya.

v Riba (bunga ) yang terdapat dalam bank-bank konvensional. Bank di dalam melaksanakan fungsinya, membeli ″uang″ dari masyarakat pemilik dana dengan suatu harga tertentu yang lazim di dalam kehidupan bank disebut dengan ″bunga kredit″. Sebaliknya, bank akan menjual ″uang″ dalam bentuk pemberian pinjaman dengan suatu harga tertentu yang lazim disebut ″bunga debet″. Dengan demikian, harga uang yang lazim disebut bunga ini pada hakekatnya bukan semata-mata atau seluruhnya menjadi pendapatan bank, akan tetapi bank atau pemilik bank hanya mendapatkan sebagian keuntungan yang merupakan selisih antara harga jual dengan harga beli tersebut.[14]

v Penggantian kata riba (bunga) dengan service fee pada praktek bank syari’ah dilatarbelakangi oleh pendapat, bahwa semua kegiatan untuk menambah, meningkatkan atau menumbuhkan pokok dari uang disebut dengan riba (bunga) dan hal ini diharamkan.

Dengan demikian, maka dapat diambil suatu penetapan hukum terhadap masalah bunga bank, yaitu:

Ø Bunga pada rentenir. Pada rentenir tujuan bunga adalah untuk mencari keuntungan yang berlipat ganda dengan merugikan orang lain, sehingga bunga pada rentenir adalah haram karena tujuannya sama dengan riba yaitu merugikan orang lain. Inilah yang terkena khitob dari penghujung ayat 279 dari surat al-Baqarah, yaitu kalian tidak merugikan dan juga tidak dirugikan.

Ø Bunga bank konvensional. Pada bank konvensional, tujuan bunga adalah agar mendapatkan keuntungan bersama antara penabung dan penghutang serta pemilik bank sebagai administrator, sehingga hukum bunga bank konvensional adalah mubah, hal ini dikarenakan tidak ditemukannya tujuan pengharaman riba di dalamnya, yaitu merugikan orang lain.

Ø Bagi hasil (service fee) bank syari’ah. Pada bank syari’ah, tujuan service fee adalah sebagai pembiayaan bagi operasional bank. Sehingga hukumnya adalah mubah. Hal ini dikarenakan tujuannya tidak sama dengan riba dan juga tidak merugikan orang lain.

KESIMPULAN

Tujuan pengharaman riba dalam hukum Islam adalah agar tidak merugikan orang lain dan tidak dirugikan oleh orang lain dan mendapatkan keberuntungan di dunia dan di akhirat. Dengan demikian, berdasarkan uraian dari al-Qur’an dan hadis serta beberapa pendapat ulama dan organisasi Islam di indonesia, maka menurut hemat penulis, bahwa hukum bunga bank (baik bank konvensional atau bank syari’ah) adalah boleh (mubah) dan tidak termasuk riba. Hal ini berbeda dengan hukum dari rentenir, yang hukumnya adalah haram. Hal ini dikarenakan kedua belah pihak mendapat keuntungan bersama antara penabung, dan peminjam dengan bank sebagai administratur.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jurjani, Ali bin Muhammad al-Syarif, Kitab at-Ta’rifa>t, Beirut: Maktabah Libanon, 1990

H. Kara, Muslimin, Bank Syari’ah di Indonesia; Analisis Kebijakan Pemerintahan Indonesia Terhadap Perbankan Syari’ah, Yogyakarta: UII Press, 2005

Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1993

Sri Edi Swasono, Bank dan Suku Bunga Dalam Kajian Islam Tentang Berbagai Masalah Kontemporer, Jakarta: Hikamat Syahid Indah, t.t.

Syurbasy, Ahmad, Himpunan Fatwa, Surabaya: Al-Ikhlas, t.t.

Zahro, Ahmad, Tradisi Intelektual NU, Yogyakarta: LKiS, 2004

Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Isla>mi wa Adillatuhu, Beirut: Da>r al-Fikr, 1989