Friday, March 18, 2011

Inilah Fir’awn Masa Kini

Mendengar kata Fir’awn, tentu dibenak kepala setiap orang akan tertuju kepada sosok raja yang kaya raya dan amat kejam dimasa Nabi Musa As. Bahkan Fir’awn telah berani mengumumkan diri sebagai Tuhan, dan bagi mereka yang tidak mau menyembahnya pasti akan berakhir dengan kematian. Namun demikian, apakah Fir’awn hanya sebatas pada Fir’awn yang ada pada masa lalu aja? Selain itu, adanya Fir’awn juga kerap di kaitkan dengan adanya Hamman dan Qarun. Dan bagaimana mereka itu?
Jika kita menelaah dan meneliti ayat-ayat al-Qur’an lebih dalam, maka kita akan mendapati suatu penjelasan sebagaimana pendapat M. Syahrur bahwa al-Qur’an tidak menyebutkan nama lengkap Fir'awn, Hamman dan Qarun, tetapi mencukupkan dengan gelar kebesaran saja.
Hal ini sebagai simbol yang menunjukkan atas fenomena-fenomena tirani politik, tirani agama (teologi), tirani harta (ekonomi), tirani dalam model-model lainnya, dan hubungan antara satu dengan yang lain.
Munculnya penyebutan Fir’awn adalah simbol dari tirani politik dan kekuasaan. Term Fir’awn dalam al-Qur'an disebut sebanyak 74 kali, yakni lebih banyak dari pada ayat-ayat yang menjelaskan tentang wudhu, waris, shadaqah, perkawinan dan perceraian.
Mengutip pendapat Syahrur, bahwa Term Fir’awn dalam bahasa Arab terbentuk dari dua kata kerja, yang keduanya merupakan akar kata yang valid, yaitu:
Pertama, dari lafaz fara’a yang menunjukkan arti ketinggian, keagungan, melangit, kemudian dari lafaz itu muncul terma al-far’u yang berarti sesuatu yang tinggi dan tingginya sesuatu ketika saya meninggikannya. Misalnya dikatakan bahwa fulan itu meminta perlindungan kepada manusia dan gundukan jalan yang tingi dan menggunduk.
Kedua, adalah lafaz ‘awn sebagai kata dasar kemudian terbentuk kata al-I’anah, al-Ma’un, al-‘Awan, lafaz al-Darbah al-‘awan yang butuh evaluasi dalam Taj al-‘Arus dan lafadh al-harb al-’awn yang sebelumnya adalah harb bikrin, kemudian menjadi lafadh ‘iwanan yang bermakna seakan-akan mengalami proses peninggian dari suatu keadaan ke keadaan yang lain yang lebih besar.
Al-Iwan adalah sesuatu yang sebelum dan sesudah (terjadi sebelum dan sesudah Musa), seperti sapi yang sedang (tidak muda dan tidak tua) yang terdapat dalam surat al-Baqarah: 68.
قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا هِيَ قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لَا فَارِضٌ وَلَا بِكْرٌ عَوَانٌ بَيْنَ ذَلِكَ فَافْعَلُوا مَا تُؤْمَرُونَ
Artinya: “Mereka menjawab: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami, sapi betina apakah itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu".
Di mana terdapat kata kerja (fara’a+’awn = fir’ana) yang kemudian berubah menjadi Fir'awn.
Fir’awn adalah puncak tertinggi dalam piramida kekuasaan yang mencakup karakteristik tiranis (penindasan dan represi). Fenomena ini telah ada sebelum nabi Musa dan masih berlanjut setelahnya bahkan sampai sekarang. Karakteristik tersebut ditempelkan pada tirani yang melakukan penindasan dan represi sebelum dan sesudah Nabi Musa, terlepas dari nama lengkap mereka seperti halnya orang biasa, misalnya Ramses, Tahtamis dan Amnahautab.
Menurut Shahrur, bahwa Fir’awn adalah sebuah gelar bagi tirani politik atau rezim tunggal. Adapun karakteristiknya adalah:
Pertama, Penguasa mengklaim diri sebagai Tuhan rububiyah dan uluhiyah. Rezim penguasa tiran akan mengklaim bahwa seluruh negara beserta isinya adalah miliknya. Dengan menerapkan prinsip “Bukankah aku yang memiliki negara ini”, kemudian dia mengklaim bahwa manusia berakal tunduk di bawah kekuasaannya. Klaim ini menuntut manusia untuk patuh kepada Fir’awn dengan tidak melakukan perbuatan menurut kehendaknya sendiri, tanpa persetujuan dari Fir’awn. Hal ini dapat diketahui ketika Fir’awn berkata kepada tukang sihir: “Apakah kalian semua akan beriman sebelum aku memberi izin kepada kalian”. Selanjutnya Fir’awn menghukum dengan siksaan, “Maka sesungguhnya aku akan potong kedua kaki dan tangan kalian secara bergantian lalu aku akan menyalib kamu secara keseluruhan”. Hukuman tersebut dilakukan bukan karena tukang sihir beriman kepada Tuhannya Nabi Musa dan Nabi Ibrahim, melainkan mereka beriman sebelum mendapatkan persetujuan dari Fir’awn, dan jika mereka minta persetujuan Fir’awn, maka Fir’awn mengizinkannya karena permintaan izin itu tidak mempengaruhi uluhiyah Fir’awn.
Dua sifat tersebut adalah sifat kekuasaan tirani–absolut dan karakteristik fenomena Fir’awn yang masih bertahan hingga saat ini. Seorang tiran tidak selalu mengklaim secara terang-terangan bahwa dia adalah penguasa negeri dan penguasa penduduk negeri. Akan tetapi, dapat diketahui dari kualifikasi bentuk kekuasaan yang terdapat dalam dirinya. Sebaliknya, kita akan mendapati manusia yang hidup di bawah hegemoni kekuasaan tirani itu memiliki karakteristik tertentu, yakni masyarakat tersebut adalah komunitas yang teralienasi, baik dari sistem atau institusi yang ada di dalamnya. Karena itu, Allah Swt., memasukkan mereka dalam kategori fasiqin, karena tunduk pada hegemoni Fir’awn seperti dalam firman Allah Swt., dalam (Qs. Al-Zuhruf: 54)
فَاسْتَخَفَّ قَوْمَهُ فَأَطَاعُوهُ إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ
Artinya: “(Maka Fir’awn mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesunggunya mereka adalah kaum fasiq). (Al-Zuhruf: 54)
Kedua, Sifat tirani adalah sebuah sifat mengadu domba, sebagaimana firman Allah Swt., dalam al-Qasas: 4.
إِنَّ فِرْعَوْنَ عَلَا فِي الْأَرْضِ وَجَعَلَ أَهْلَهَا شِيَعًا يَسْتَضْعِفُ طَائِفَةً مِنْهُمْ يُذَبِّحُ أَبْنَاءَهُمْ وَيَسْتَحْيِي نِسَاءَهُمْ إِنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ
Artinya: “Sesungguhnya Fir’awn telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’awn termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Salah satu karakter dasar dari tirani politik, baik yang bersifat kolonialis asing atau pribumi, yaitu dengan memecah belah manusia dalam beragam golongan, dengan keberaniannya memecah belah pertalian darah, golongan dan aliran.
Ketiga: Adanya orang kepercayaan yang melaksanakan perintah-perintahnya yang mengklaim tiraninya sebagai Tuhan hakiki. Karakter ini disebut Allah Swt., sebagai “pembesar” sebagaimana firman-Nya: “Dan berkata Firaun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat, kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta". (Al-Qasas: 38). Dalam hal ini, bitanah (orang kepercayaan) itu terbentuk dalam sebuah tingkatan utama yang harus dimiliki oleh semua penguasa tirani yang mendukungnya dalam segala hal.
Karakteristik bitanah adalah menggantungkan kekuasaannya kepada kekuasaan Fir’awn, berbicara atas namanya, mengambil hak milik manusia menurut seleranya dengan menggunakan nama Fir’awn, menebarkan rasa takut yang mendalam pada hati manusia atas namanya, tenggelam dalam kemewahan yang mana orang-orang tertindas di muka bumi dilarang untuk menikmatinya, menebarkan propaganda bahwa Fir’awn adalah Tuhan dan segala sesuatu yang dikehendakinya adalah keagungan dan kekuasaannya.
Keempat, Penguasa membuat dan menambah kerusakan di muka bumi. Tirani politik adalah perbuatan zalim, sedangkan kebaikan dan kerusakan adalah hukum dialektika manusia dan masyarakat. Akan tetapi, sistem tiranik memiliki potensi lebih untuk berbuat kerusakan, bukan membuat kebaikan. Yang dimaksud dengan kerusakan adalah rusaknya tugas, fungsi negara dan relasi-relasi sosial dan ekonomi. Inilah karakteristik dasar rezim yang zalim sebagaimana firman Allah Swt., dalam surat al-Fajr: 6-12.
َلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ(6)إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ(7)الَّتِي لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِي الْبِلَادِ(8)وَثَمُودَ الَّذِينَ جَابُوا الصَّخْرَ بِالْوَادِ(9)وَفِرْعَوْنَ ذِي الْأَوْتَادِ(10)الَّذِينَ طَغَوْا فِي الْبِلَادِ(11)فَأَكْثَرُوا فِيهَا الْفَسَادَ
(Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum 'Ad?, (yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain, dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah, dan kaum Fir’awn yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak), yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu.).
Dengan demikian, apabila ada penguasa yang memiliki keempat karakteristik sebagaimana diatas, maka boleh jadi ia disebut dengan Fir’awn sebab Fir’awn bukanlah nama seorang raja melainkan sebuah gelar yang disandang oleh penguasa yang tirani.

Keistimewaan Bulan Ramadhan

Bulan Ramadhan merupakan bulan yang sangat berarti dan dinanti-nanti bagi semua umat Islam di seluruh penjuru dunia karena memiliki beberapa keistimewaan dibanding bulan-bulan lainnya. Keistimewaan-keistimewaan bulan Ramadhan adalah sebagai berikut:
Bulan dimana al-Qur'an pertama kali diturunkan
Bulan Ramadhan merupakan bulan dimana al-Qur'an diturunkan untuk pertama kalinya, hal ini tercantum jelas di dalam surah al-Baqarah (2) ayat 185:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
"(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur."
Berdasarkan ayat di atas, maka dapat diketahui bahwasanya al-Qur'an awal diturunkannya al-Qur'an adalah pada saat bulan Ramadhan. Disamping itu, dijelaskan pula bahwa tujuan al-Qur'an diturunkan adalah sebagai petunjuk (pedoman) hidup bagi manusia, sebagai pengoreksi terhadap petunjuk yang diselewengkan dari kitab suci sebelum al-Qur’an dan sebagai pembeda antara pendapat yang benar dengan pendapat yang salah.
Al-Qur'an sebagai petunjuk atau pedoman hidup manusia, dimana didalamnya mengatur bagaimana seharusnya manusia menjalani kehidupannya sehari-hari. Hal ini dijelaskan di dalam surah al-A’la (87) ayat 1-3:
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى(1)الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى(2)وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدَى
"Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi, yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk."
Ayat di atas sangat jelas bahwa Allah menciptakan manusia tidak saja dilepaskan begitu saja, melainkan Allah memberikan sebuah petunjuk dan pedoman bagi ciptaan-Nya untuk menjalani hidupnya, sehingga hidupnya terarah dan bahagia.
Dengan demikian, seyogyanya kita sebagai umat Islam senantiasa menggunakan al-Qur'an sebagaimana tujuan Allah menurunkannya. Jika tujuan-tujuan al-Qur'an sudah kita laksanakan nicaya manusia akan selamat dan mendapatkan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Selain itu, hendaknya kita tidak merasa puas jika sudah bisa membaca al-Qur'an, melainkan kita hendaknya terus dan terus mempelajari makna dan kandungan dari al-Qur'an terlebih-lebih ketika bulan Ramadhan.
Pada saat malam di bulan Ramadhan, membaca al-Qur'an seakan sudah menjadi tradisi di sekitar kita. Hal ini merupakan sebuah amalan yang amat bagus sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah. Dimana di bulan Ramadhan malaikat jibril selalu datang setiap malam kepada Rasulullah SAW untuk tadaruss (memahami kembali) al-Qur'an. Hal ini dijelaskan dalam hadis shahih dalam kitab shahih al-Bukhari bab Bad'ul wahyi, no. 5 :
حَدَّثَنَا عَبْدَانُ قَالَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنْ الزُّهْرِيِّ ح و حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنَا يُونُسُ وَمَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ نَحْوَهُ قَالَ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَلَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنْ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ
(Dari Abdan dari Abdullah dari Yunus dari al-Zuhry, juga dari Bisyr bin Muhammad dari Abdullah dari Yunus dan Muammar dari al-Zuhry dari Abdullah bin Abdullah dari Ibn Abbas berkata bahwa Rasulullah SAW manusia terbaik ketika pada bulan Ramadhan ketika Jibril menemuinya setiap malam bulan Ramadhan dan mempelajari kembali al-Qur'an , maka Rasulullah SAW adalah orang segera melakukan kebaikan sebagaimana angin bertiup).
Bulan Ramadhan adalah bulan dibukanya pintu ampunan
Bulan Ramadhan adalah bulan dibukanya pintu ampunan bagi mereka yang melaksanakan puasa Ramadhan. Hal ini dilambangkan dengan dibukanya pintu langit (sebagai lambang dibukanya ampunan) dan ditutup pintu neraka serta dibelenggunya setan (sebagai lambang terbelenggunya hawa nafsu). Hal ini dijelaskan dalam Shahih al-Bukhari pada bab al-Shaum, no. 1766 :
حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنِي اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي ابْنُ أَبِي أَنَسٍ مَوْلَى التَّيْمِيِّينَ أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ وَسُلْسِلَتْ الشَّيَاطِينُ
(Dari Yahya bin Bukair dari al-Lais dari "Uqail dari Ibn Syihab dari Ibn Abi Anas (maula al-Tamiyin bahwa bapaknya mendengar Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda : Jika memasuki bulan Ramadhan dibuka semua pintu langit dan ditutup pintu-pintu Jahannam dan dibelenggu para Setan).
Oleh karena itu, orang yang berpuasa pada bulan Ramadhan karena dilandasai oleh iman dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya di masa lalunya. Hal ini dijelaskan dalam hadis shahih pada kitab shahih al-Bukhari pada bab Iman, no. 37 :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلاَمٍ قَالَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
(Dari Muhammad bin Salam dari Muhammad bin Fadhail dari Yahya bin Sa'id dari Abi Salamah dari Abi Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda : "Barang siapa yang berpuasa Ramadhan dengan niat karena Allah dan hanya mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu).
Terdapat Malam Kemuliaan (Lailatul Qadar)
Di bulan Ramadhan terdapat satu malam kemuliaan (lailalatul qadr), dimana nilai malam itu lebih dari seribu bulan, karena para malaikat dan malaikat Jibril diizinkan Allah turun ke langit bumi dan akan mengabulkan setiap permohonan manusia mulai terbenamnya matahari sampai terbit fajar. Sebagaimana ditegaskan dalam surah al-Qadar (97) ayat 1-5 :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ(1)وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ(2)لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ(3)تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ(4)سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ(5(
"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar."
Surah di atas menjelaskan bahwa al-Qur’an diturunkan dari lauh mahfudz ke langit dunia pada malam lailatul Qadr atau malam kemuliaan. Kemudian menjelaskan bahwa Lailatul Qadr adalah suatu malam yang kebaikan atau perbuatan baik nilainya sama dengan seribu bulan.
Para Malaikat dan Malaikat Jibril turun ke langit bumi untuk mengaminkan setiap do’a dari hamba Allah sampai terbit fajar (subuh). Pada malam lailatul Qadr Allah hanya menentukan keselamatan, tidak seperti hari-hari biasa yang selalu menentukan keselamatan dan kebinasaan.
Adapun siapa yang berjaga (tidak tidur) pada malam lailatul qadar dan melakukan ibadah karena Allah dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu. Hal tersebut dijelaskan dalam hadis shahih pada kitab Shahih al-Bukhari pada bab al-Shaum, no. 1764 :
حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِه
(Dari Muslim bin Ibrahim dari Hisyam dari Yahya dari Abi Salamah dari Abi Hurairah berkata bahwa Nabi SAW bersabda : siapa yang berjaga (tidak tidur) pada malam lailatul qadar dan melaksanakan ibadah karena Allah dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosanya pada masa lampau, begitu juga siapa yang berpuasa karena Allah dan mengharap pahala dari Allah akan diampuni dosanya pada masa lampau).
Rasulullah memerintahkan mencari malam lailatul Qadr pada hitungan ganjil pada 10 hari terakhir pada bulan Ramadhan. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis shahih pada kitab Shahih al-Bukhari dalam bab al-shalat al-Tarawih, no. 1878 :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا أَبُو سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ اْلأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
(Dari Qutaibah bin Sa'id dari Ismail bin Ja'far dari Abu Suhail dari bapaknya dari Aisyah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda : "Carilah malam lailatul Qadr pada malam ganjil sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan)".
Kemudian Rasulullah menjelaskan tanda datangnnya lailatul Qadr adalah ketika matahari terbit tanpa cahaya yang terang. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis shahih pada kitab Shahih Muslim dalam bab al-Shiyam, no. 1999 :
و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ وَابْنُ أَبِي عُمَرَ كِلاَهُمَا عَنْ ابْنِ عُيَيْنَةَ قَالَ ابْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَبْدَةَ وَعَاصِمِ بْنِ أَبِي النَّجُودِ سَمِعَا زِرَّ بْنَ حُبَيْشٍ يَقُولاَ سَأَلْتُ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقُلْتُ إِنَّ أَخَاكَ ابْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ مَنْ يَقُمْ الْحَوْلَ يُصِبْ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَقَالَ رَحِمَهُ اللَّهُ أَرَادَ أَنْ لاَ يَتَّكِلَ النَّاسُ أَمَا إِنَّهُ قَدْ عَلِمَ أَنَّهَا فِي رَمَضَانَ وَأَنَّهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ وَأَنَّهَا لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ ثُمَّ حَلَفَ لاَ يَسْتَثْنِي أَنَّهَا لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ فَقُلْتُ بِأَيِّ شَيْءٍ تَقُولُ ذَلِكَ يَا أَبَا الْمُنْذِرِ قَالَ بِالْعَلاَمَةِ أَوْ بِاْلآيَةِ الَّتِي أَخْبَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا تَطْلُعُ يَوْمَئِذٍ لاَ شُعَاعَ لَهَا
(Dari Muhammad bin Hatim dan Ibn Abi Umar keduanya dari Ibn Uyainah al-Najud, maka berkata Ibn Uyainah dari Sufyan bin Uyainah dari Abdah dan Ashim bin Abi al-Najud dari Zirrah bin Hubais, ia bertanya kepada Ubay bin Ka'ab bahwa saudaramu Ibn Mas'ud berkata bahwa siapa yang sepanjang malam Ramadhan melakukan ibadah, maka akan mendapatkan lailatul Qadr, agar manusia tidak hanya mengharapkan lailatul Qadr, meskipun ia mengetahui bahwa lailatul Qadr itu pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan tepatnya pada malam kedua puluh tujuh, maka ditanya apa tandanya, ia menjawab dengan tanda ketika paginya matahari terbit tanpa sinar yang terang sebagaimana diberitahukan oleh Rasulullah SAW).
Adapun do'a yang dibaca ketika menjumpai lailatul Qadr adalah :
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
(Ya Allah, sungguh Engkau Maha Pemaaf dan Maha Mulia dan Maha Memaafkan, maka ampunilah aku).
Hal tersebut dijelaskan dalam hadis shahih pada kitab Sunan al-Tirmizi dalam bab al-Daawat an Rasulillah, no. 3435 :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ الضُّبَعِيُّ عَنْ كَهْمَسِ بْنِ الْحَسَنِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَيُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ قُولِي اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
(Dari Qutaibah dari Ja'far bin Sulaiman al-Dhaba'iy dari Khmas bin al-Hasan dari Abdillah bin Buraidah dari Aisyah berkata bahwa aku bertanya kepada Rasulullah SAW: "Apa yang aku ucapkan ketika mendapatkan malam Qadr, maka Rasulullah menjawab : Ucapkanlah : Ya Allah, sungguh engkau Maha Pemaaf dan Maha Mulia dan Maha Memaafkan, maka ampunilah aku)".

Uwais al-Qarni

Meraup Hikmah Sang Nafas ar-Rahman dari dari Yaman
Nama Uwais al-Qarani memainkan peranan penting dalam biografi mistikal nabi. “Sesungguhnya aku merasakan nafas ar-Rahman, nafas dari Yang Maha Pengasih, mengalir kepadaku dari Yaman!” Demikian sabda Nabi SAW tentang diri Uwais, yang kemudian dalam tradisi tasawuf menjadi contoh bagi mereka yang memasuki tasawuf tanpa dituntun oleh sang guru yang hidup. Para sufi yang mengaku dirinya telah menempuh jalan tanpa pemba’iatan formal kemudian disebut dengan istilah Uwaisi. Mereka ini dibimbing langsung oleh Allah di jalan tasawuf, atau telah ditasbihkan oleh wali nabi yang misterius, Khidhir.
Uwais yang bernama lengkap Uwais bin Amir al-Qarani berasal dari Qaran, sebuah desa terpencil di dekat Nejed. Tidak diketahui kapan beliau dilahirkan. Ia kilahirkan oleh keluarga yang taat beribadah. Ia tidak pernah mengenyam pendidikan kecuali dari kedua orang tuanya yang sangat ditaatinya. Untuk membantu meringankan beban orang tuanya, ia bekerja sebagai penggembala dan pemelihara ternak upahan. Dalam kehidupan kesehariannya ia lebih banyak menyendiri dan bergaul hanya dengan sesama penggembala di sekitarnya. Oleh karenanya, ia tidak dikenal oleh kebanyakan orang disekitarnya, kecuali para tuan pemilik ternak dan sesamanya, para penggembala.
Hidupnya amat sangat sederhana. Pakaian yang dimiliki hanya yang melekat di tubuhnya. Setiap harinya ia lalui dengan berlapar-lapar ria. Ia hanya makan buah kurma dan minum air putih, dan tidak pernah memakan makan yang dimasak atau diolah. Oleh karenanya, ia merasakan betul derita orang-orang kecil disekitarnya. Tidak cukup dengan empatinya yang sedemikian, rasa takutnya kepada Allah mendorongnya untuk selalu berdoa kedapa Allah : “Ya Allah, janganlah Engkau menyiksaku, karena ada yang mati karena kelaparan, dan jangan Engaku menyiksaku karena ada yang kedinginan.”
Ketaatan dan kecintaannya kepada Allah, juga termanifestasi dalam kecintaannya dan ketaatannya kepada Rasulullah dan kepada kedua orang tuanya, sangat luar biasa. Di siang hari, ia bekerja keras, dan dimalam hari, ia asik bermunajat kepada Allah swt. Hati dan lisannya tidak pernah lengah dari berdzikir dan bacaan ayat-ayat suci al-Qur’an, meskipun ia sedang bekerja. Ala kulli hal, ia selalu berada bersama Tuhan, dalam pengabdian kepada-Nya.
Rasulullah saw menuturkan keistimewaan Uwais di hadapan Allah kepada Umar dan Ali bahwa dihari kiamat nanti, disaat semua orang dibangkitkan kembali, Uwais akan memberikan syafaat kepada sejumlah besar umatnya, sebanyak jumlah domba yang dimiliki Rabbiah dan Mudhar (keduanya dikenal karena mempunyai domba yang banyak). Karena itu, Rasulullah menyarankan kepada mereka berdua agar menemuinya, menyampaikan salam dari Rasulullah, dan meminta keduanya untuk mendoakan keduanya, yang digambarkan bahhwa Uwais memiliki tinggi badan yang sedang dan berambut lebat, dan memiliki tanda putih sebesar dirham pada bahu kiri dan telapak tangannya.
Sejak Rasulullah menyarankan keduanya untuk menemuinya, sejak itu pula keduanya selalu penasaran ingin segera bertemu dengan Uwais. Setiap kali Umar maupun Ali bertemu dengan rombongan orang-orng Yaman, ia selalu berusaha mencaru tahu dimana keberadaan Uwais dari rombongan yang ditemuinya. Namun, keduanya selalu gagal mendapatkan informasi tentang Uwais. Barulah setalah Umar diangkat menjadi khalifah, informasi tentang Uwais keduanya perolih dari serombongan orang Yaman, “Ia tampak gila, tinggal sendiri dan tidak brgaul dengan masyarakat. Ia tidak makan apa yang dimakan oleh kebanyakan orang, dan tidak tampak susan atau senang. Ketika orang-orang tersenyum ia menangis, dan ketika orang-orang menangis ia tersenyum”. Demikian kata rombongan orang-orang Yaman tersebut. Mendengar cerita orang-orang Yaman tersebut, Umar dan Ali segera berangkat menuju tempat yang ditunjukkan oleh orang-orang Yaman tadi.
Akhirnya, keduanya bertemu dengan Uwais di suatu tempat terpencul. Abi Naim al-Afshani menuturkan dialog yang kemudian terjadi antara Umar dan Ali dengan Uwai al-Qarani sebagai berikut:
Umar : Apa yang anda kerjakan disini ?
Uwais : Saya bekerja sebagai penggembala
Umar : Siapa nama Anda?
Uwais : Aku adalah hamba Allah
Umar : Kita semua adalah hamba Allah, akan tetapi izinkan kami untuk mengetahui anda lebih dekat lagi
Uwais : Silahkan saja.
Umar dan Ali : Setelah kami perhatikan, andalah orang yang pernah diceritakan oleh Rasulullah SAW kepada kami. Doakan kami dan berilah kami nasehat agar kami beroleh kebahagiaan dunia dan di akherat kelak.
Uwais : Saya tidak pernah mendoakan seseorang secara khusus. Setiap hari saya selalu berdoa untuk seluruh umat Islam. Lantas siapa sebenarnya anda berdua.
Ali : Beliau adalah Umar bin Khattab, Amirul Mu’minin, dan saya adalah Ali bin Abi Thalib. Kami berdua disuruh oleh Rasulullah SAW untuk menemui anda dan menyampaikan salam beliau untuk anda.
Umar : Berilah kami nasehat wahai hamba Allah
Uwais : Carilah rahmat Allah dengan jalan ta’at dan penuh harap dan bertawaqal kepada Allah.
Umar :Terima kasih atas nasehat anda yang sangat berharga ini. Sebagai tanda terima kasih kami, kami berharap anda mau menerima seperangkat pakaian dan uang untuk anda pakai.
Uwais : Terima kasih wahai Amirul mu’minin. Saya sama sekali tidak bermaksud menolak pemberian tuan, tetapi saya tidak membutuhkan apa yang anda berikan itu. Upah yang saya terima adalah 4 dirham itu sudah lebih dari cukup. Lebihnya saya berikan kepada ibuku. Setiap hari saya cukup makan buah kurma dan minum air putih, dan tidak pernah makan makan yang di masak. Kurasa hidupku tidak akan sampai petang hari dan kalau petang, kurasa tidak akan sampai pada pagi hari. Hatiku selalu mengingat Allah dan sangat kecewa bila sampai tidak mengingat-Nya.
Ketika orang-orang Qaran mulai mengetahui keduduka spiritualnya yang demikian tinggi di mata Rasulullah saw, mereka kemudian berusaha untuk menemui dan memuliakannya. Akan tetapi, Uwais yang sehari-harinya hidup penuh dengan kesunyian ini, diam-diam meninggalkan mereka dan pergi menuju Kufah, melanjutkan hidupnya yang sendiri. Ia memilih untuk hidup dalam kesunyian, hati terbatas untuk yang selain Dia. Tentu saja, “kesunyian” disini tidak identik dengan kesendirian (pengasingan diri). Hakekat kesendirian ini terletak pada kecintaanya kepada Tuhan. Siapa yang mencintai Tuhan, tidak akan terganggu oleh apapun, meskipun ia hidup ditengah-tengah keramaian.
Alaisa Allah-u bi Kafin abdahu?
Setelah seorang sufi bernama Harim bin Hayyam berusaha untuk mencari Uwais setelah tadak menemukannya di Qaran. Kemudian ia menuju Basrah. Di tengah perjalanan menuju Basrah, inilah, ia menemukan Uwais yang mengenakan jubah berbulu domba sedang berwudhu di tepi sungai Eufrat. Begitu Uwais beranjak naik menuju tepian sungai sambil merapikan jenggotnya. Harim mendekat dan memberi salam kepadanya.
Uwais : menjawab: “ Wa alaikum salam”, wahai Harim bin Hayyan. Harim terkejut ketika Uwais menyebut namanya. “Bagaimana engakau mengetahui nama saya Harim bin Hayyan?’ tanya Harim. “Roku telah mengenal rohmmu”, demikian jawan Uwais.
Uwais : kemudian menasehati Harim untuk selalu menjaga hatinya. Dalam arti mengarahkannya untuk selalu dalam ketaatan kepada-Nya melalui mujahadah, atau mengarahkan diri “dirinya “ untuk mendengar dan mentaati kata hatinya.
Meski Uwais menjalani hidupnya dalam kesendirian dan kesunyian, tetapi pada saat-saat tertentu ia ikut berpartisipasi dalam kegiatan jihad untuk membela dan mempertahankan agama Allah. Ketika terjadi perang Shiffin antara golongan Ali melawan Muawiyah, Uwais berdiri di golongan Ali. Saat orang islam membebaskan Romawi, Uwais ikut dalam barisan tentara Islam. Saat kembali dari pembebasan tersebut, Uwais terserang penyakit dan meninggal saat itu juga. (t.39 H).
Demikianlah sekelumit tentang Uais al-Qarani, kemudian hri namanya banyak di puji oleh masyarakat. Yunus Emre misalnya memujinya dalam satu sajak syairnya :
Kawan tercinta kekasih Allah; Di tanah Yaman, Uwais al-Qarani. Dia tidak berbohong ; dan tidak makan makan haram Di tanah Yaman, Uwais al-Qarani Di pagi hari ia bangun dan mulai bekerja, Dia membaca dalam dzikir seribu satu malam Allah;
Dengan kata Allahu Akbar dia menghela unta-unta Di tanah Yaman, Uwais alQarani
Negeri Yaman “negeri di sebelah kanan “, negeri asal angin sepoi-sepoi selatan yang dinamakan nafas ar-rahman, Nafas dari Yang Maha Pengasih, yang mencapai Nabi dengan membawa bau harum dari ketaatan Uwais al-Qarani, sebagaimana angin sepoi-sepoi sebelumnya yang mendatangkan keharuman yang menyembuhkan dari kemeja Yusuf kepada ayahnya yang buta. Ya’kub (QS, 12: 95), telah menjadi simbul dari Timur yang penuh dengan cahaya, tempat dimana cahaya muncul, yang dalam karya Suhrawadi menggambarkan rumah keruhanian yang sejati. “Negeri di sebelah kanan “ itu adalah tanah air Uwais al-Qarani yanag memeluk Islam tanpa pernah betemu dengan nabi. Hikmah Yamaniyyah, “Kebijaksanaan Yaman,” dan Hikmah Yamaniyyah,”filosofi Yanani”, bertentangan, sebagaimana makrifat intuitif dan pendekatan intelektual, sebagaimana Timur dan Barat.
Doa dan Dzikir
Satu hal yang perlu digarisbawahi dari diri Uwais al-Qarani, kemudian menjadi landasan dalam tareqat-tareqat sufi, selain baktinya yang luar biasa terhadap kedua orang tuanya dan sikap zuhudnya, adalah doa dan dzikirnya. Uwais tidak pernah berdoa khusus untuk seseorang, tetapi selalu berdoa untuk seluruh umat kaum muslim. Uwais juga tidak pernah lengah dalam berdzikir meskipun sedang sibuk bekerja, mengawasi dan menggiring ternak-ternaknya.
Doa dan dzikir bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Hakekatnya adalah satu. Sebab, jelas doa adalah salah satu bentuk dari dzikir, dan dzikir kepada–Ku hingga ia tidak sempat bermohon (sesuatu) kepada-Ku, maka Aku akan mengaruniakan kepadanya sesuatu yang terbaik dari yang diminta orang yang berdoa kepada-Ku”.
Uwais selalu bedoa untuk seluruh muslimin. Doa untuk kaum muslim adalah salah satu bentuk perwujudan dari kepedulian terhadap “urusan kaum muslim”. Rasulullah saw. Pernah memperingatkan dengan keras: Siapa yang tidak peduli dengan urusan kaum muslim, maka ia tidak termasuk umatku.” Dalam hal ini, Rasulullah saw menyatakan bahwa permohonan yang paling cepat dikabulkan adalah doa seseorang untuk saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang didoakan dan mendahulukan doa untuk selain dirinya. Dan Uwais lebih memilih untuk medoakan seluruh saudaranya seiman.
Suatu ketika Hasan bin Ali terbangun tengah malam dan melihat ibunya, Fatimah az-Zahra, sedang khusu’ berdoa. Hasan yang penasaran ingin tahu apa yang diminta ibunya dalam doanya berusaha untuk menguping. Namun Hasan agak sedikit kecewa, karena dari awal hingga akhir doanya, ibunya, hanya meminta pengampunan dan kebahagian hidup untuk seluruh kaum muslimin di dunia dan di akhirat kelak. Selesai berdoa, segera Hasan bertanya kepada ibunya perihal doanya yang sama sekali tidak menyisakan doanya untuk dirinya sendiri. Ibunya tersenyum, lalu menjawab bahwa apapun yang kita panjatkan untuk kebahagiaan hidup kaum muslim, hakekatnya, permohonan itu akan kembali kepada kita. Sebab para malaikat yang menyaksikan doa tersebut akan berkata “Semoga Allah mengabulkanmu dua kali lipat.”
Dari prinsip tersebut, para sufi kemudian menarik suatu prinsip yang lebih umum yang padanya bertumpu seluruh rahasia kebahagiaan. Apa yang kita cari dalam kehidupan ini, harus kita berikan kepad orang lain. Jika kebajikan yang kita cari, berikanlah; jika kebaikan, berikanlah; jika pelayanan, berikanlah. Bagi para sufi, dunia adalah kubah, dan perilaku seseorang adalah gema dari pelaku yang lain. Secuil apapun kebaikan yang kita lakukan, ia akan kembali. Jika bukan dari seseorang, ia akan datang dari orang lain. Itulah gemanya. Kita tidak mengetahui dari mana sisi kebaikan itu akan datang, tetapi ia akan datang beratus kali lipat dibanding yang kita berikan.
Demikianlah, berdoa untuk kaum mulim akan bergema di dalam diri yang tentu saja akan berdampak besar dan positif dalam membangun dan meningkatkan kualitas kehidupan spiritual seseorang. Paling tidak, doa ini akan memupus ego di dalam diri yang merupakan musuh terbesar, juga sekalihgus akan melahirkan dan menanamkan komitmen dalam diri “rasa Cinta”dan “prasangka baik”terhadap mereka, yang merupakan pilar lain dari ajaran sufi, sebagai manifestasi cinta dan pengabdian kepada Allah swt.
Uwais tidak pernah lengah untuk berdzikir, mengingat dan menyebut-nyebut nama Allah meskipun ia sedang sibuk mengurus binatang ternaknya. Dzikir dalam pengertiannya, yang umum mencakup ucapan segala macam ketaatan kepada Allah swt. Namun yang dilakukan Uwais disini adlah berdzikir dengan menyebut nama-nama Allah dan meningat Allah, juga termasuk sifat-sifat Allah. Ibn Qayyim al-Jauziyyah ketika memaparkan berbagai macam faedah dzikir dalm kitabnya “al-wabil ash-shayyab min al-kalim at-thayyib” menyebutkan bahwa yang paling utama pada setiap orang yang bramal adalah yang paling banyak berdzikir kepad Allah swt. Ahli shaum yang paling utama adalah yang paling banyak dzikirnya; pemberi sedekah yang paling baik adalah yang paling banyak dzikirnya; ahli haji yang paling utama adalah yang paling banyak berdzikir kepada Allah swt; dan seterusnya, yang mencakup segala aktifitas dan keadaan.
Syaikh Alawi dalam “al-Qawl al-Mu’tamad,” menyebutkan bahwa mulianya suatu nama adalah kerena kemuliaan pemilik nama itu, sebab nama itu mengandung kesan si pemiliknya dalam lipat tersembunyi esensi rahasianya dan maknanya. Berdzikir dan mengulang-ulang Asma Allah, Sang Pemilik kemuliaan, dengan demikian, tak diragukan lagi akan memberikan sugesti, efek, dan pengaruh yang sangat besar. Al-Ghazali menyatakan bahwa yang diperoleh seorang hamba dari nama Allah adalah ta’alluh (penuhanan), yang berarti bahwa hati dan niatnya tenggelan dalam Tuhan, sehingga yang dilihat-Nya hanyalah Dia. Dan hal ini, dalam pandangan Ibn Arabi, berarti sang hamba tersebut menyerap nama Allah, yang kemudian merubahnya dengan ontologis. Demikianlah, setiap kali kita menyerap asma Allah lewat dzikir kepada-Nya, esensi kemanusiaan kita berubah. Kita mengalami tranformasi. Yanag apada akhirnya akan membuahkan akhlak al-karimah yang merupakan tujuan pengutusan rasulullah Muhammad saw.
Dilihat dari sudut panang psikologis sufistik, pertama-tama dzikir akan memberi kesan pada ruh seseorang, membentuknya membangun berbagai kualitas kebaikan, dan kekuatan inspirasi yang disugestikan oleh nama-nama itu. Dan mekanisme batiniah seseorang menjadi semakin hidup dari pengulangan dzikir itu, yang kemudian mekanisme ini berkembang pada pengulangan nama-nama secara otomatis. Jadi jika seseorang telah mengilang dzikirnya selama satu jam, misalnya, maka sepanjang siang dan malam dzikir tersebut akan terus berlanjut terulang, karena jiwanya mengulangi terus menerus. Pengulangan dzikir ini, juga akan terefleksi pada ruh semesta, dan mekanisme universal kemudian mengulanginya secara otomatis. Dengan kata lain, apa yang didzikirkan manusia dengan menyebutnya berulang-ulang. Tuhan kemudian mulai mengulanginya, hingga termaterialisasi dan menjadi suatu realita di semua tingkat eksistensi. Wallahu a’lam bis-shawab. (sufinews.com)

Siapa Sahabat Sejatimu?

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary. “Tak ada sahabat sejatimu kecuali dia yang paling tahu aibmu, dan tidak ada (sahabat seperti itu) kecuali Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Sebaik-baik sahabatmu adalah yang menuntutmu, tetapi sama sekali tuntutan itu tidak ada kepentingannya darimu untuk-nya.”
Tak ada yang lebih tahu aib kita secara detil dan rinci melainkan Allah swt, karena Dia-lah yang tak pernah meninggalkan anda ketika anda dalam kondisi hina dan tidak menolak anda ketika anda dalam kondisi sangat kurang, bahkan senantiasa mengasihi anda dalam situasi apa pun.
Pada saat begitu Dia memerintahkan anda dan melarang anda, namun anda maksiat pada-Nya, namun Dia tidak meninggalkan anda, bahkan dengan rasa belas kasih-Nya Dia memanggilmu untuk datang kepada-Nya di saat anda alpa.
Namun jika yang tahu aib anda secara detil itu adalah makhluk, maka para makhluk pun justru meninggalkan anda dan melempari anda atas perbuatan anda selama ini. Namun Allah Swt dengan segala cinta dan kasih sayang-Nya senantiasa malah menjaga anda. Namun yang menyadari itu sangat sedikit.
Allah Swt tidak pernah meminta imbal balik kita dibalik perlindungan, perintah, tuntutan dan larangan-Nya. Sedangkan pergaulan dan persahabatan dengan makhluk penuh dengan tuntutan dan kepentingan. Maka sahabat sejati sesungguhnya yang menyadarkan kepentingan yang kembali pada diri kita, hal-hal yang berguna maupun hal-hal mana yang berbahaya.
Namun rasa yaqin yang rendah dan lemah membuat anda terhijab dari semua itu. Karena itu Ibnu Athaillah melanjutkan: “Seandainya cahaya yaqin memancar, pasti anda melihat akhirat lebih dekat padamu dibanding anda menempuhnya. Dan sungguh anda memandang keindahan dunia tak lebih dari reruntuhan fana yang tampak padanya.”
Dunia hanyalah khayal dalam wujudnya, apabila anda benar-benar tercerahi oleh cahaya yaqin. Ahmad bin Ashim al-Anthaky ra menegaskan, “Yaqin adalah nur yang dijadikan Allah swt dalam hati hamba-Nya, hingga ia melihat perkara akhiratnya dan cahaya itu membakar semua hijab antara Dia dan dirinya, sampai akhirat tampak begitu jelas dalam perspektifnya.”
Suatu hari Rasulullah Saw, bertanya kepada Haritsah ra, “Apa kabarmu pagi ini wahai Haritsah?” “Saya dalam kondisi beriman yang benar,” jawab Haritsah.
Rasulullah saw, bersabda, “Setiap kebenaran ada hakikatnya, lalu apa hakikat imanmu?”
“Seakan-akan saya berada di Arasy Tuhanku benar-benar ditegakkan dan saya melihat ahli syurga sedang menikmati nikmat-nikmat-Nya di syurga dan ahli neraka sedang saling minta pertolongan,” kata Haritsah.
Rasulullah saw, bersabda, “Kamu sedang mengenal maka teguhlah. Seorang hamba yang qalbunya dicerahi cahaya oleh Allah….” (Al-Hadits). Rasulullah saw, pernah bersabda, “Bila cahaya masuk dalam hati, maka hati akan lapang…” Rasul saw, ditanya, “Wahai Rasulullah apakah ada tanda untuk mengenal itu?”
Beliau menjawab, “Merasa kosong di negeri tipudaya dan kembali pada negeri keabadian, serta mempersiapkan bekal mati sebelum waktunya tiba…” (sufinews.com)

Ngapain Ribut Keras atau Pelan!!!!!

Perdebatan mengenai membaca al-Qur’an dengan suara keras atau perlahan memang sering kita dengar. Satu sisi mereka menganggap membaca al-Qur’an dengan suara keras adalah kurang baik dibanding dengan suara perlahan.
Namun demikian, seyogyanya kita tidak usah ikut terpancing dengan perdebatan semacam ini. Sebab mereka yang membaca al-Qur’an dengan suara keras dan suara perlahan adalah sama-sama benar dan baik. Yang tidak benar adalah mereka yang tidak mau membaca al-Qur’an.
Rasulullah bersabda sebagaimana yang terdapat dalam kitab Sunan Tirmidzi bab Kitab Fadhailul Qur’an an Rasulillah: 2843:
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْجَاهِرُ بِالْقُرْآنِ كَالْجَاهِرِ بِالصَّدَقَةِ وَالْمُسِرُّ بِالْقُرْآنِ كَالْمُسِرِّ بِالصَّدَقَةِ
Dari U’bah bin Amir berkata, saya mendengar Rasulullah Saw., telah bersabda, ”Orang yang membaca al-Qur’an dengan suara keras adalah seumpama seseorang yang memberikan sedekahnya secara terang-terangan. Dan seseorang yang membacanya dengan suara perlahan adalah seumpama seorang yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi.”
Hadis di atas mengqiyaskan antara membaca al-Qur’an dengan shadaqah. Amal shadaqah lebih utama dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi dibanding dengan cara terang-terangan. Bahkan di ibaratkan ketika seseorang bershadaqah dengan tangan kanan, maka tangan kiri tidak sampai tahu apalagi orang lain. Hal yang demikian adalah untuk menghindarkan diri dari munculnya sifat riya’ dan ujub (bangga diri). Menurut Abu Isa, bahwa makna hadis ini adalah bahwa membaca al-Qur’an dengan suara pelan lebih utama dibandingkan dengan membacanya dengan suara keras. Karena sesungguhnya shadaqah dengan sembunyi-sembunyi lebih utama menurut ahli ilmu daripada shadaqah dengan terang-terangan. Karena menurut ahli ilmu hal ini untuk menghindarkan diri dari sifat ujub (bangga diri).
Namun demikian, perlu kita melihat situasi dan kondisi dalam beramal. Terkadang shadaqah dengan terang-terangan itu lebih utama agar menjadi teladan bagi orang lain sehingga akan semakin banyak orang yang bershadaqah. Tetapi dalam keadaan tertentu memberikan shadaqah dengan sembunyi-sembunyi lebih utama agar terhindar dari sifat riya (pamer) dan ujub (bangga diri).
Begitu pula dengan membaca al-Qur’an. Terkadang membaca al-Qur’an dengan suara keras itu lebih baik jika niatnya untuk menggalakkan orang lain supaya membacanya, dengan niat sebagai syiar Islam. Disamping itu, bagi mereka yang mendengarnya juga akan mendapat pahala. Tetapi pada keadaan tertentu membacanya dengan suara pelan adalah lebih utama agar tidak mengganggu orang lain atau untuk menghindari sifat riya dan ujub. Membaca dengan suara pelan dan keras memiliki kelebihan masing-masing. Kembali kepada niat pribadi masing-masing dan tau kondisi serta situasi ketika ia membaca al-Qur’an.

Khutbah Kedua

الحمد لله له الأمر كله وإليه المصير. وأشهد ان لا اله الا الله وحده لا شريك له. وأشهد أن محمدا عبده ورسوله البشير النذير والسراج المنير.
اما بعد: فيا ايها الناس, اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون. وقال الله تعالى في كتابه الكريم : إن الله وملائكته يصلون على النبي, ياايهاالذين امنوا صلوا عليه وسلموا تسليما. اللهم صل وسلم على سيدنا محمد عبدك ورسولك النبي الامي وعلى اله وصحبه أجمعين وعن التابعين وتابعي التابعين وتابعيهم بإحسان الى يوم الدين وانصرنا معهم برحمتك ياأرحم الراحمين.
اللهم اغفر للمؤمنين والمؤمنات والمسلمين والمسلمات الأحياء منهم والأموات. وضعف لهم الحسنات وكفر عنهم السيئات وارزقهم من الأرزاق الطيبات. اللهم اكشف عنا البلاء والغلاء والوباء والفخشاء والمنكر والبغي والشدا ئد والمحن ما ظهر منها وما بطن من بلدنا إندونشي هذا خاصة ومن بلدان المسلمين عامة إنك على كل شئ قدير. ربنا اتنا من لدنك رحمة وهيء لنا من امرنا رشدا. ربنا هب لنا من أزواجنا وذريتنا قرة أعين واجعلنا للمتقين اماما. ربنا اتنا في الدنيا حسنة وفي الأخرة حسنة وقنا عذاب النار.
عباد الله ! إن الله يأمر بالعدل والإحسان وإيتاء ذي القربى وينهى عن الفخشاء والمنكر والبغي يعظكم لعلكم تذكرون, فاذكروا الله العظيم يذكركم واشكروا على نعمه يزدكم واسئلوه من فضله يعطيكم. ولذكرالله أكبر.

Menjadi Pribadi Yang Bajik

Sebelum membahas mengenai pribadi yang bajik, alangkah baiknya jika kita memahami terlebih dahulu apa yang dinamakan dengan kebajikan. Allah berfirman dalam Surat al-Baqarah ayat 177:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَءَاتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَءَاتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”
Kebajikan (dalam bahasa al-Qur'an adalah birr) terdapat sebanyak 8 kali dalam Al Qur’an, beberapa diantaranya: Al Baqarah/2: 44, 177, 189, Ali Imran/3 : 92, Al Maidah/5: 2, dan Al Mujadilah/58 : 9.
Rasulullah memberikan pengertian tentang apa itu kebajikan. Dari An-Nawwas bin Sam'an ra, dari Nabi saw, beliau bersabda, "Kebajikan adalah akhlak yang baik, dan dosa adalah sesuatu yang mengganjal dalam jiwamu dan engkau tidak suka bila hal itu terlihat oleh manusia (orang lain)" (HR Muslim).
Selain itu, terdapat sebuah riwayat dimana ada seorang sahabat yang bertanya kepada Nabi, apakah kebajikan itu? nabi termenung lalu menjawab, kebajikan adalah sesuatu yang menenangkan hati dan keburukan adalah yang kamu ragu bimbang dan hatimu tidak tenang menghadapinya walaupun sudah ada yang berkata kepadamu atau yang memberi fatwa tentang kebolehannya.
Jawaban Nabi tersebut berdasarkan pada pandangan agama Islam, bahwa manusia diciptakan oleh Allah dalam keadaan baik (fitrah). Oleh sebab itu, jika seseorang melakukan suatu keburukan dengan sedikit terpaksa pada mulanya dan pada akhirnya kalau sudah terbiasa, maka keburukan itu akan dengan mudah dilakukan. Hal itu juga sebabnya, apabila seseorang melakukan keburukan, maka pada awalnya dia melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Akan tetapi kalau sudah terbiasa, maka ia merasa sudah tidak malu lagi melakukannya. Hal ini berbeda dengan kebajikan. Seseorang tidak perlu memaksakan diri melakukan kebajikan dan bahkan tidak perlu untuk sembunyi-sembunyi melakukan kebajikan. Namun demikian, perlu diketahui bahwa manusia bergaul manusia dipengaruhi oleh lingkungan, bacaan, teman sehingga menjadi kaburlah kebajikan itu bahkan bisa jadi kebajikan dianggap keburukan dan keburukan dianggap kebajikan. Untuk itu, tidak heranlah jika para pakar berkata, sesuatu yang baik bila telah ditinggal dia dapat dianggap buruk dan sesuatu yang buruk bila sering dilakukan orang bisa saja pada akhirnya dianggap baik.
Dari sini kitab suci al-Qur'an (surat al-Baqarah : 177) menjelaskan dari apa yang dinamakan kebajikan. Digarisbawahinya bahwa kebajikan bukanlah sekedar menghadapkan wajah ke Timur dan ke Barat. Kebajikan bukan sekedar shalat ketika menghadapkan wajah ke arah Ka'bah, Akan tetapi kebajikan itu beraneka ragam. Ayat tersebut membagi kebajikan pada tiga hal pokok, yaitu:
Pertama, Kebajikan yang berkaitan dengan hati dan berkaitan dengan akidah. dicontohkannya keimanan kepada Allah, Rasul-Rasul, dan rukun iman yang kita kenal itu adalah bagian dari kebajikan yang ada di dalam hati, termasuk di dalamnya niat yang tulus, sangka baik terhadap sesama. Orang yang beriman adalah orang yang menyadari jika gerak-geriknya senantiasa dilihat dan diawasi Allah SWT. Menyadari bahwa segala sesuatu akan mengalami kematian dan kehancuran. Semuanya pasti akan berakhir, kecuali Allah Swt. Tidak hanya itu, ia juga beriman kepada para Malaikat. Ia juga seorang yang selalu mengikuti aturan-aturan hidup (Kitab Suci al Qur’an). Seluruh kehidupannya selalu sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam kitab-kitab suci, khususnya al Qur’an. Setelah keempat keimanan tersebut keimanannya kepada para Nabi Allah pun adalah hal yang sangat mempengaruhi hidup dan kehidupannya. Para Nabi tersebut adalah pembawa ajaran keselamatan dan kebahagiaan bagi umat manusia, termasuk Nabi Muhammad Saw., sehingga dalam menjalani kehidupan sehari-hari ia selalu mengikuti ajaran yang dibawa para Nabi tersebut.
Kedua, kebajikan adalah amal perbuatan baik amal sosial berupa bantuan, sedekah maupun amal ritual seperti shalat, zakat haji. Orang yang bajik dalam pandangan Allah SWT, tidak cukup dengan modal keimanan saja, akan tetapi ia juga harus memiliki kepedulian terhadap sesama umat manusia, seperti kepada keluarganya sendiri, anak-anak yatim, orang-orang miskin, kaum dhu’afa dan orang-orang yang kehilangan hak dan wewenang (hamba sahaya). Orang yang bajik tidak akan membiarkan orang-orang tersebut, kecuali diperhatikan dan dibantunya serta disayangi dan dihormati. Orang bajik tidak akan mau menumpuk kekayaan, kecuali dibagikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya.
Ketiga, akhlak. Akhlak moral yang menghiasi pribadi seseorang, antara lain yang disebutnya adalah menetapi janji dan sabar. Memenuhi janji meliputi memenuhi janji kepada Allah, janji kepada sesama manusia, janji kepada lingkungan. Dalam konteks ini digaris bawahi bahwa memenuhi janji adalah kewajiban seorang muslim baik sesama muslim maupun terhadap non muslim. Sama halnya menunaikan dengan amanah, ia adalah kewajiban seorang muslim baik amanah itu diterimanya dari seorang muslim maupun dari non muslim. Begitu pula dengan berbakti kepada orang tua, baik orang tua itu muslim atau non muslim. Itu semua bagian dari akhlak dan itu bagian dari kebajikan yang dituntut oleh agama untuk ditegakkan bagi setiap orang yang mengaku beragama. Dengan demikian, tepat kiranya ucapan khalifah Umar bin Khaththab “Tidaklah dapat mengukur keimanan dan keislaman seseorang karena ia telah melaksanakan shalat, tidak juga karena ia telah berpuasa, tidak juga karena telah membayar zakat hartanya, dan tidak juga karena ia telah menunaikan ibadah haji. Akan tetapi keimanan dan keislaman seseorang harus terlihat pada kehidupannya sehari-hari “.
Sebuah sikap yang kurang tepat jika seseorang yang telah melaksanakan shalat lalu dikatakan sebagai orang baik. Betapa banyak orang yang telah menjalankan ibadah shalat, baik shalat fardhu maupun shalat sunat, akan tetapi (ternyata) ia masih suka berbohong, suka menipu, suka menggunjing, benci kepada seseorang, mau mengambil sesuatu yang bukan miliknya, atau juga suka korupsi dan sebagainya.
Oleh karena itu, janganlah langsung mengatakan baik terhadap seseorang, akan tetapi perlu diperhatikan terlebih dahulu perbuatan, perilaku dan sikapnya sehari-hari, sebagaimana penjelasan komprehensif dari agama Islam (al Qur’an).
"Ya Allah kami bermohon kepadamu segala macam kebajikan, kebajikan yang dekat untuk dunia dan kebajikan yang jauh di akhirat kelak. Ya Allah, kami bermohon kepadamu perlindungan dari segala keburukan baik yang dekat maupun yang jauh".

Inilah Hamman dan Qarun Masa Kini

Setelah pembahasan mengenai Fir’awn yang lalu, sekarang saatnya melengkapinya dengan pembahasan mengenai Hamman dan Qarun. Sebab membahas Fir’awn rasanya tidak lengkap jika tidak menyertakan mereka.
Jika Fir’awn adalah sebuah gelar bagi penguasa yang tirani dan dictator, maka Hamman juga sama, Hamman bukanlah nama personal yang ada dimasa Fir’awn saja, melainkan Hamman adalah sebuah gelar perorangan yang menjaga urusan-urusan Allah (Tuhan) dan mengawasi penerapannya di antara manusia, artinya mereka menjaga urusan-urusan penting dari Tuhan sekaligus mengawasi penerapan manusia atas ajaran-ajaran tersebut.
Hammannya Fir’awn adalah kepala para dukun-sihir dan orang kedua dalam kekuasaan atau yang kita sebut sebagai pucuk pimpinan agama (pimpinan ulama).
Secara lebih detail, menurut M. Syahrur, seorang cendekiawan Muslim Syria mengungkapkan bahwa konsep kekuasaan Hamman adalah:
Pertama, Hamman memberikan hukum-hukum shar’i kepada para Fir’awn (penguasa). Menggunakan jargon determinisme, qadla’ dan qadar sebagai pengabdian kepada mereka dan menjustifikasi klaim representasi penguasa melalui cara dan berkahnya
Kedua, Hamman mengklaim memiliki kebenaran mutlak, penjagaan terhadap agama, otoritas/perwalian atas pemikiran, dan mengkokohkan lembaga perdukunan dan keagamaan untuk menyokong keistimewaannya
Ketiga, Hamman memberi label halal, haram dan mengkafirkan para penentangnya. Dia dan pengikutnya membatasi secara subyektif hubungan antara manusia dengan Tuhan dan hubungan Tuhan dengan manusia.
Keempat, Hamman mempunyai pengikut yang bertugas untuk menakut-nakuti manusia, mematikan pemikiran, sejarah, peradaban dan mendukung aparat para Fir’awn.
Nah apabila ada yang mempunyai karakteristik demikian, berarti ia bisa disebut dengan Hamman masa kini. Wa Allahu A’lam.

Inilah Qarun
Jika Fir’awn dan Hamman adalah sebuah gelar, begitu juga dengan Qarun. Qarun adalah sebuah gelar yang diberikan atau disandang atas dasar kekayaan tertentu, yaitu berupa monopoli kekayaan, bukan kekayaan pada umumnya. Di samping itu, Qarun adalah pribadi yang tercela yang berlimpah hartanya, tidak memiliki kebangsaan dan suku. Ia lintasi semua itu demi mendapatkan dan menambah pundi-pundi kekayaannya.
Secara lebih detail, menurut M. Syahrur bahwa konsep kekuasaan Qarun adalah:
Pertama, Qarun mendukung para Fir’awn dan Hamman untuk mewujudkan masyarakat tertindas, yang terkonsentrasi di bank-bank dan lembaga keuangan, di mana dia tidak mempunyai tanah air dan kesukuan tertentu.
Kedua, Qarun hidup dari pola investasi, dari laba eksploitatif, sebagai ganti dari laba produktif.
Ketiga, Terkadang antara kekuasaan finansial dan kekuasaan politik terkonsentrasi pada satu orang (Fir’awn+Qarun), atau terkadang antara kekuasaan finansial dan kekuasaan keagamaan dalam genggaman satu orang (Haman+Qarun).
Keempat, Qarun mempunyai aparat dalam berbagai bidang: korupsi, penyelundupan, manipulasi, pemborosan dan melakukan revolusi berdarah demi mengganti bentuk kedudukan seseorang.