Friday, March 18, 2011

Uwais al-Qarni

Meraup Hikmah Sang Nafas ar-Rahman dari dari Yaman
Nama Uwais al-Qarani memainkan peranan penting dalam biografi mistikal nabi. “Sesungguhnya aku merasakan nafas ar-Rahman, nafas dari Yang Maha Pengasih, mengalir kepadaku dari Yaman!” Demikian sabda Nabi SAW tentang diri Uwais, yang kemudian dalam tradisi tasawuf menjadi contoh bagi mereka yang memasuki tasawuf tanpa dituntun oleh sang guru yang hidup. Para sufi yang mengaku dirinya telah menempuh jalan tanpa pemba’iatan formal kemudian disebut dengan istilah Uwaisi. Mereka ini dibimbing langsung oleh Allah di jalan tasawuf, atau telah ditasbihkan oleh wali nabi yang misterius, Khidhir.
Uwais yang bernama lengkap Uwais bin Amir al-Qarani berasal dari Qaran, sebuah desa terpencil di dekat Nejed. Tidak diketahui kapan beliau dilahirkan. Ia kilahirkan oleh keluarga yang taat beribadah. Ia tidak pernah mengenyam pendidikan kecuali dari kedua orang tuanya yang sangat ditaatinya. Untuk membantu meringankan beban orang tuanya, ia bekerja sebagai penggembala dan pemelihara ternak upahan. Dalam kehidupan kesehariannya ia lebih banyak menyendiri dan bergaul hanya dengan sesama penggembala di sekitarnya. Oleh karenanya, ia tidak dikenal oleh kebanyakan orang disekitarnya, kecuali para tuan pemilik ternak dan sesamanya, para penggembala.
Hidupnya amat sangat sederhana. Pakaian yang dimiliki hanya yang melekat di tubuhnya. Setiap harinya ia lalui dengan berlapar-lapar ria. Ia hanya makan buah kurma dan minum air putih, dan tidak pernah memakan makan yang dimasak atau diolah. Oleh karenanya, ia merasakan betul derita orang-orang kecil disekitarnya. Tidak cukup dengan empatinya yang sedemikian, rasa takutnya kepada Allah mendorongnya untuk selalu berdoa kedapa Allah : “Ya Allah, janganlah Engkau menyiksaku, karena ada yang mati karena kelaparan, dan jangan Engaku menyiksaku karena ada yang kedinginan.”
Ketaatan dan kecintaannya kepada Allah, juga termanifestasi dalam kecintaannya dan ketaatannya kepada Rasulullah dan kepada kedua orang tuanya, sangat luar biasa. Di siang hari, ia bekerja keras, dan dimalam hari, ia asik bermunajat kepada Allah swt. Hati dan lisannya tidak pernah lengah dari berdzikir dan bacaan ayat-ayat suci al-Qur’an, meskipun ia sedang bekerja. Ala kulli hal, ia selalu berada bersama Tuhan, dalam pengabdian kepada-Nya.
Rasulullah saw menuturkan keistimewaan Uwais di hadapan Allah kepada Umar dan Ali bahwa dihari kiamat nanti, disaat semua orang dibangkitkan kembali, Uwais akan memberikan syafaat kepada sejumlah besar umatnya, sebanyak jumlah domba yang dimiliki Rabbiah dan Mudhar (keduanya dikenal karena mempunyai domba yang banyak). Karena itu, Rasulullah menyarankan kepada mereka berdua agar menemuinya, menyampaikan salam dari Rasulullah, dan meminta keduanya untuk mendoakan keduanya, yang digambarkan bahhwa Uwais memiliki tinggi badan yang sedang dan berambut lebat, dan memiliki tanda putih sebesar dirham pada bahu kiri dan telapak tangannya.
Sejak Rasulullah menyarankan keduanya untuk menemuinya, sejak itu pula keduanya selalu penasaran ingin segera bertemu dengan Uwais. Setiap kali Umar maupun Ali bertemu dengan rombongan orang-orng Yaman, ia selalu berusaha mencaru tahu dimana keberadaan Uwais dari rombongan yang ditemuinya. Namun, keduanya selalu gagal mendapatkan informasi tentang Uwais. Barulah setalah Umar diangkat menjadi khalifah, informasi tentang Uwais keduanya perolih dari serombongan orang Yaman, “Ia tampak gila, tinggal sendiri dan tidak brgaul dengan masyarakat. Ia tidak makan apa yang dimakan oleh kebanyakan orang, dan tidak tampak susan atau senang. Ketika orang-orang tersenyum ia menangis, dan ketika orang-orang menangis ia tersenyum”. Demikian kata rombongan orang-orang Yaman tersebut. Mendengar cerita orang-orang Yaman tersebut, Umar dan Ali segera berangkat menuju tempat yang ditunjukkan oleh orang-orang Yaman tadi.
Akhirnya, keduanya bertemu dengan Uwais di suatu tempat terpencul. Abi Naim al-Afshani menuturkan dialog yang kemudian terjadi antara Umar dan Ali dengan Uwai al-Qarani sebagai berikut:
Umar : Apa yang anda kerjakan disini ?
Uwais : Saya bekerja sebagai penggembala
Umar : Siapa nama Anda?
Uwais : Aku adalah hamba Allah
Umar : Kita semua adalah hamba Allah, akan tetapi izinkan kami untuk mengetahui anda lebih dekat lagi
Uwais : Silahkan saja.
Umar dan Ali : Setelah kami perhatikan, andalah orang yang pernah diceritakan oleh Rasulullah SAW kepada kami. Doakan kami dan berilah kami nasehat agar kami beroleh kebahagiaan dunia dan di akherat kelak.
Uwais : Saya tidak pernah mendoakan seseorang secara khusus. Setiap hari saya selalu berdoa untuk seluruh umat Islam. Lantas siapa sebenarnya anda berdua.
Ali : Beliau adalah Umar bin Khattab, Amirul Mu’minin, dan saya adalah Ali bin Abi Thalib. Kami berdua disuruh oleh Rasulullah SAW untuk menemui anda dan menyampaikan salam beliau untuk anda.
Umar : Berilah kami nasehat wahai hamba Allah
Uwais : Carilah rahmat Allah dengan jalan ta’at dan penuh harap dan bertawaqal kepada Allah.
Umar :Terima kasih atas nasehat anda yang sangat berharga ini. Sebagai tanda terima kasih kami, kami berharap anda mau menerima seperangkat pakaian dan uang untuk anda pakai.
Uwais : Terima kasih wahai Amirul mu’minin. Saya sama sekali tidak bermaksud menolak pemberian tuan, tetapi saya tidak membutuhkan apa yang anda berikan itu. Upah yang saya terima adalah 4 dirham itu sudah lebih dari cukup. Lebihnya saya berikan kepada ibuku. Setiap hari saya cukup makan buah kurma dan minum air putih, dan tidak pernah makan makan yang di masak. Kurasa hidupku tidak akan sampai petang hari dan kalau petang, kurasa tidak akan sampai pada pagi hari. Hatiku selalu mengingat Allah dan sangat kecewa bila sampai tidak mengingat-Nya.
Ketika orang-orang Qaran mulai mengetahui keduduka spiritualnya yang demikian tinggi di mata Rasulullah saw, mereka kemudian berusaha untuk menemui dan memuliakannya. Akan tetapi, Uwais yang sehari-harinya hidup penuh dengan kesunyian ini, diam-diam meninggalkan mereka dan pergi menuju Kufah, melanjutkan hidupnya yang sendiri. Ia memilih untuk hidup dalam kesunyian, hati terbatas untuk yang selain Dia. Tentu saja, “kesunyian” disini tidak identik dengan kesendirian (pengasingan diri). Hakekat kesendirian ini terletak pada kecintaanya kepada Tuhan. Siapa yang mencintai Tuhan, tidak akan terganggu oleh apapun, meskipun ia hidup ditengah-tengah keramaian.
Alaisa Allah-u bi Kafin abdahu?
Setelah seorang sufi bernama Harim bin Hayyam berusaha untuk mencari Uwais setelah tadak menemukannya di Qaran. Kemudian ia menuju Basrah. Di tengah perjalanan menuju Basrah, inilah, ia menemukan Uwais yang mengenakan jubah berbulu domba sedang berwudhu di tepi sungai Eufrat. Begitu Uwais beranjak naik menuju tepian sungai sambil merapikan jenggotnya. Harim mendekat dan memberi salam kepadanya.
Uwais : menjawab: “ Wa alaikum salam”, wahai Harim bin Hayyan. Harim terkejut ketika Uwais menyebut namanya. “Bagaimana engakau mengetahui nama saya Harim bin Hayyan?’ tanya Harim. “Roku telah mengenal rohmmu”, demikian jawan Uwais.
Uwais : kemudian menasehati Harim untuk selalu menjaga hatinya. Dalam arti mengarahkannya untuk selalu dalam ketaatan kepada-Nya melalui mujahadah, atau mengarahkan diri “dirinya “ untuk mendengar dan mentaati kata hatinya.
Meski Uwais menjalani hidupnya dalam kesendirian dan kesunyian, tetapi pada saat-saat tertentu ia ikut berpartisipasi dalam kegiatan jihad untuk membela dan mempertahankan agama Allah. Ketika terjadi perang Shiffin antara golongan Ali melawan Muawiyah, Uwais berdiri di golongan Ali. Saat orang islam membebaskan Romawi, Uwais ikut dalam barisan tentara Islam. Saat kembali dari pembebasan tersebut, Uwais terserang penyakit dan meninggal saat itu juga. (t.39 H).
Demikianlah sekelumit tentang Uais al-Qarani, kemudian hri namanya banyak di puji oleh masyarakat. Yunus Emre misalnya memujinya dalam satu sajak syairnya :
Kawan tercinta kekasih Allah; Di tanah Yaman, Uwais al-Qarani. Dia tidak berbohong ; dan tidak makan makan haram Di tanah Yaman, Uwais al-Qarani Di pagi hari ia bangun dan mulai bekerja, Dia membaca dalam dzikir seribu satu malam Allah;
Dengan kata Allahu Akbar dia menghela unta-unta Di tanah Yaman, Uwais alQarani
Negeri Yaman “negeri di sebelah kanan “, negeri asal angin sepoi-sepoi selatan yang dinamakan nafas ar-rahman, Nafas dari Yang Maha Pengasih, yang mencapai Nabi dengan membawa bau harum dari ketaatan Uwais al-Qarani, sebagaimana angin sepoi-sepoi sebelumnya yang mendatangkan keharuman yang menyembuhkan dari kemeja Yusuf kepada ayahnya yang buta. Ya’kub (QS, 12: 95), telah menjadi simbul dari Timur yang penuh dengan cahaya, tempat dimana cahaya muncul, yang dalam karya Suhrawadi menggambarkan rumah keruhanian yang sejati. “Negeri di sebelah kanan “ itu adalah tanah air Uwais al-Qarani yanag memeluk Islam tanpa pernah betemu dengan nabi. Hikmah Yamaniyyah, “Kebijaksanaan Yaman,” dan Hikmah Yamaniyyah,”filosofi Yanani”, bertentangan, sebagaimana makrifat intuitif dan pendekatan intelektual, sebagaimana Timur dan Barat.
Doa dan Dzikir
Satu hal yang perlu digarisbawahi dari diri Uwais al-Qarani, kemudian menjadi landasan dalam tareqat-tareqat sufi, selain baktinya yang luar biasa terhadap kedua orang tuanya dan sikap zuhudnya, adalah doa dan dzikirnya. Uwais tidak pernah berdoa khusus untuk seseorang, tetapi selalu berdoa untuk seluruh umat kaum muslim. Uwais juga tidak pernah lengah dalam berdzikir meskipun sedang sibuk bekerja, mengawasi dan menggiring ternak-ternaknya.
Doa dan dzikir bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Hakekatnya adalah satu. Sebab, jelas doa adalah salah satu bentuk dari dzikir, dan dzikir kepada–Ku hingga ia tidak sempat bermohon (sesuatu) kepada-Ku, maka Aku akan mengaruniakan kepadanya sesuatu yang terbaik dari yang diminta orang yang berdoa kepada-Ku”.
Uwais selalu bedoa untuk seluruh muslimin. Doa untuk kaum muslim adalah salah satu bentuk perwujudan dari kepedulian terhadap “urusan kaum muslim”. Rasulullah saw. Pernah memperingatkan dengan keras: Siapa yang tidak peduli dengan urusan kaum muslim, maka ia tidak termasuk umatku.” Dalam hal ini, Rasulullah saw menyatakan bahwa permohonan yang paling cepat dikabulkan adalah doa seseorang untuk saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang didoakan dan mendahulukan doa untuk selain dirinya. Dan Uwais lebih memilih untuk medoakan seluruh saudaranya seiman.
Suatu ketika Hasan bin Ali terbangun tengah malam dan melihat ibunya, Fatimah az-Zahra, sedang khusu’ berdoa. Hasan yang penasaran ingin tahu apa yang diminta ibunya dalam doanya berusaha untuk menguping. Namun Hasan agak sedikit kecewa, karena dari awal hingga akhir doanya, ibunya, hanya meminta pengampunan dan kebahagian hidup untuk seluruh kaum muslimin di dunia dan di akhirat kelak. Selesai berdoa, segera Hasan bertanya kepada ibunya perihal doanya yang sama sekali tidak menyisakan doanya untuk dirinya sendiri. Ibunya tersenyum, lalu menjawab bahwa apapun yang kita panjatkan untuk kebahagiaan hidup kaum muslim, hakekatnya, permohonan itu akan kembali kepada kita. Sebab para malaikat yang menyaksikan doa tersebut akan berkata “Semoga Allah mengabulkanmu dua kali lipat.”
Dari prinsip tersebut, para sufi kemudian menarik suatu prinsip yang lebih umum yang padanya bertumpu seluruh rahasia kebahagiaan. Apa yang kita cari dalam kehidupan ini, harus kita berikan kepad orang lain. Jika kebajikan yang kita cari, berikanlah; jika kebaikan, berikanlah; jika pelayanan, berikanlah. Bagi para sufi, dunia adalah kubah, dan perilaku seseorang adalah gema dari pelaku yang lain. Secuil apapun kebaikan yang kita lakukan, ia akan kembali. Jika bukan dari seseorang, ia akan datang dari orang lain. Itulah gemanya. Kita tidak mengetahui dari mana sisi kebaikan itu akan datang, tetapi ia akan datang beratus kali lipat dibanding yang kita berikan.
Demikianlah, berdoa untuk kaum mulim akan bergema di dalam diri yang tentu saja akan berdampak besar dan positif dalam membangun dan meningkatkan kualitas kehidupan spiritual seseorang. Paling tidak, doa ini akan memupus ego di dalam diri yang merupakan musuh terbesar, juga sekalihgus akan melahirkan dan menanamkan komitmen dalam diri “rasa Cinta”dan “prasangka baik”terhadap mereka, yang merupakan pilar lain dari ajaran sufi, sebagai manifestasi cinta dan pengabdian kepada Allah swt.
Uwais tidak pernah lengah untuk berdzikir, mengingat dan menyebut-nyebut nama Allah meskipun ia sedang sibuk mengurus binatang ternaknya. Dzikir dalam pengertiannya, yang umum mencakup ucapan segala macam ketaatan kepada Allah swt. Namun yang dilakukan Uwais disini adlah berdzikir dengan menyebut nama-nama Allah dan meningat Allah, juga termasuk sifat-sifat Allah. Ibn Qayyim al-Jauziyyah ketika memaparkan berbagai macam faedah dzikir dalm kitabnya “al-wabil ash-shayyab min al-kalim at-thayyib” menyebutkan bahwa yang paling utama pada setiap orang yang bramal adalah yang paling banyak berdzikir kepad Allah swt. Ahli shaum yang paling utama adalah yang paling banyak dzikirnya; pemberi sedekah yang paling baik adalah yang paling banyak dzikirnya; ahli haji yang paling utama adalah yang paling banyak berdzikir kepada Allah swt; dan seterusnya, yang mencakup segala aktifitas dan keadaan.
Syaikh Alawi dalam “al-Qawl al-Mu’tamad,” menyebutkan bahwa mulianya suatu nama adalah kerena kemuliaan pemilik nama itu, sebab nama itu mengandung kesan si pemiliknya dalam lipat tersembunyi esensi rahasianya dan maknanya. Berdzikir dan mengulang-ulang Asma Allah, Sang Pemilik kemuliaan, dengan demikian, tak diragukan lagi akan memberikan sugesti, efek, dan pengaruh yang sangat besar. Al-Ghazali menyatakan bahwa yang diperoleh seorang hamba dari nama Allah adalah ta’alluh (penuhanan), yang berarti bahwa hati dan niatnya tenggelan dalam Tuhan, sehingga yang dilihat-Nya hanyalah Dia. Dan hal ini, dalam pandangan Ibn Arabi, berarti sang hamba tersebut menyerap nama Allah, yang kemudian merubahnya dengan ontologis. Demikianlah, setiap kali kita menyerap asma Allah lewat dzikir kepada-Nya, esensi kemanusiaan kita berubah. Kita mengalami tranformasi. Yanag apada akhirnya akan membuahkan akhlak al-karimah yang merupakan tujuan pengutusan rasulullah Muhammad saw.
Dilihat dari sudut panang psikologis sufistik, pertama-tama dzikir akan memberi kesan pada ruh seseorang, membentuknya membangun berbagai kualitas kebaikan, dan kekuatan inspirasi yang disugestikan oleh nama-nama itu. Dan mekanisme batiniah seseorang menjadi semakin hidup dari pengulangan dzikir itu, yang kemudian mekanisme ini berkembang pada pengulangan nama-nama secara otomatis. Jadi jika seseorang telah mengilang dzikirnya selama satu jam, misalnya, maka sepanjang siang dan malam dzikir tersebut akan terus berlanjut terulang, karena jiwanya mengulangi terus menerus. Pengulangan dzikir ini, juga akan terefleksi pada ruh semesta, dan mekanisme universal kemudian mengulanginya secara otomatis. Dengan kata lain, apa yang didzikirkan manusia dengan menyebutnya berulang-ulang. Tuhan kemudian mulai mengulanginya, hingga termaterialisasi dan menjadi suatu realita di semua tingkat eksistensi. Wallahu a’lam bis-shawab. (sufinews.com)

Siapa Sahabat Sejatimu?

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary. “Tak ada sahabat sejatimu kecuali dia yang paling tahu aibmu, dan tidak ada (sahabat seperti itu) kecuali Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Sebaik-baik sahabatmu adalah yang menuntutmu, tetapi sama sekali tuntutan itu tidak ada kepentingannya darimu untuk-nya.”
Tak ada yang lebih tahu aib kita secara detil dan rinci melainkan Allah swt, karena Dia-lah yang tak pernah meninggalkan anda ketika anda dalam kondisi hina dan tidak menolak anda ketika anda dalam kondisi sangat kurang, bahkan senantiasa mengasihi anda dalam situasi apa pun.
Pada saat begitu Dia memerintahkan anda dan melarang anda, namun anda maksiat pada-Nya, namun Dia tidak meninggalkan anda, bahkan dengan rasa belas kasih-Nya Dia memanggilmu untuk datang kepada-Nya di saat anda alpa.
Namun jika yang tahu aib anda secara detil itu adalah makhluk, maka para makhluk pun justru meninggalkan anda dan melempari anda atas perbuatan anda selama ini. Namun Allah Swt dengan segala cinta dan kasih sayang-Nya senantiasa malah menjaga anda. Namun yang menyadari itu sangat sedikit.
Allah Swt tidak pernah meminta imbal balik kita dibalik perlindungan, perintah, tuntutan dan larangan-Nya. Sedangkan pergaulan dan persahabatan dengan makhluk penuh dengan tuntutan dan kepentingan. Maka sahabat sejati sesungguhnya yang menyadarkan kepentingan yang kembali pada diri kita, hal-hal yang berguna maupun hal-hal mana yang berbahaya.
Namun rasa yaqin yang rendah dan lemah membuat anda terhijab dari semua itu. Karena itu Ibnu Athaillah melanjutkan: “Seandainya cahaya yaqin memancar, pasti anda melihat akhirat lebih dekat padamu dibanding anda menempuhnya. Dan sungguh anda memandang keindahan dunia tak lebih dari reruntuhan fana yang tampak padanya.”
Dunia hanyalah khayal dalam wujudnya, apabila anda benar-benar tercerahi oleh cahaya yaqin. Ahmad bin Ashim al-Anthaky ra menegaskan, “Yaqin adalah nur yang dijadikan Allah swt dalam hati hamba-Nya, hingga ia melihat perkara akhiratnya dan cahaya itu membakar semua hijab antara Dia dan dirinya, sampai akhirat tampak begitu jelas dalam perspektifnya.”
Suatu hari Rasulullah Saw, bertanya kepada Haritsah ra, “Apa kabarmu pagi ini wahai Haritsah?” “Saya dalam kondisi beriman yang benar,” jawab Haritsah.
Rasulullah saw, bersabda, “Setiap kebenaran ada hakikatnya, lalu apa hakikat imanmu?”
“Seakan-akan saya berada di Arasy Tuhanku benar-benar ditegakkan dan saya melihat ahli syurga sedang menikmati nikmat-nikmat-Nya di syurga dan ahli neraka sedang saling minta pertolongan,” kata Haritsah.
Rasulullah saw, bersabda, “Kamu sedang mengenal maka teguhlah. Seorang hamba yang qalbunya dicerahi cahaya oleh Allah….” (Al-Hadits). Rasulullah saw, pernah bersabda, “Bila cahaya masuk dalam hati, maka hati akan lapang…” Rasul saw, ditanya, “Wahai Rasulullah apakah ada tanda untuk mengenal itu?”
Beliau menjawab, “Merasa kosong di negeri tipudaya dan kembali pada negeri keabadian, serta mempersiapkan bekal mati sebelum waktunya tiba…” (sufinews.com)

Ngapain Ribut Keras atau Pelan!!!!!

Perdebatan mengenai membaca al-Qur’an dengan suara keras atau perlahan memang sering kita dengar. Satu sisi mereka menganggap membaca al-Qur’an dengan suara keras adalah kurang baik dibanding dengan suara perlahan.
Namun demikian, seyogyanya kita tidak usah ikut terpancing dengan perdebatan semacam ini. Sebab mereka yang membaca al-Qur’an dengan suara keras dan suara perlahan adalah sama-sama benar dan baik. Yang tidak benar adalah mereka yang tidak mau membaca al-Qur’an.
Rasulullah bersabda sebagaimana yang terdapat dalam kitab Sunan Tirmidzi bab Kitab Fadhailul Qur’an an Rasulillah: 2843:
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْجَاهِرُ بِالْقُرْآنِ كَالْجَاهِرِ بِالصَّدَقَةِ وَالْمُسِرُّ بِالْقُرْآنِ كَالْمُسِرِّ بِالصَّدَقَةِ
Dari U’bah bin Amir berkata, saya mendengar Rasulullah Saw., telah bersabda, ”Orang yang membaca al-Qur’an dengan suara keras adalah seumpama seseorang yang memberikan sedekahnya secara terang-terangan. Dan seseorang yang membacanya dengan suara perlahan adalah seumpama seorang yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi.”
Hadis di atas mengqiyaskan antara membaca al-Qur’an dengan shadaqah. Amal shadaqah lebih utama dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi dibanding dengan cara terang-terangan. Bahkan di ibaratkan ketika seseorang bershadaqah dengan tangan kanan, maka tangan kiri tidak sampai tahu apalagi orang lain. Hal yang demikian adalah untuk menghindarkan diri dari munculnya sifat riya’ dan ujub (bangga diri). Menurut Abu Isa, bahwa makna hadis ini adalah bahwa membaca al-Qur’an dengan suara pelan lebih utama dibandingkan dengan membacanya dengan suara keras. Karena sesungguhnya shadaqah dengan sembunyi-sembunyi lebih utama menurut ahli ilmu daripada shadaqah dengan terang-terangan. Karena menurut ahli ilmu hal ini untuk menghindarkan diri dari sifat ujub (bangga diri).
Namun demikian, perlu kita melihat situasi dan kondisi dalam beramal. Terkadang shadaqah dengan terang-terangan itu lebih utama agar menjadi teladan bagi orang lain sehingga akan semakin banyak orang yang bershadaqah. Tetapi dalam keadaan tertentu memberikan shadaqah dengan sembunyi-sembunyi lebih utama agar terhindar dari sifat riya (pamer) dan ujub (bangga diri).
Begitu pula dengan membaca al-Qur’an. Terkadang membaca al-Qur’an dengan suara keras itu lebih baik jika niatnya untuk menggalakkan orang lain supaya membacanya, dengan niat sebagai syiar Islam. Disamping itu, bagi mereka yang mendengarnya juga akan mendapat pahala. Tetapi pada keadaan tertentu membacanya dengan suara pelan adalah lebih utama agar tidak mengganggu orang lain atau untuk menghindari sifat riya dan ujub. Membaca dengan suara pelan dan keras memiliki kelebihan masing-masing. Kembali kepada niat pribadi masing-masing dan tau kondisi serta situasi ketika ia membaca al-Qur’an.