Mendengar kata Fir’awn, tentu dibenak kepala setiap orang akan tertuju kepada sosok raja yang kaya raya dan amat kejam dimasa Nabi Musa As. Bahkan Fir’awn telah berani mengumumkan diri sebagai Tuhan, dan bagi mereka yang tidak mau menyembahnya pasti akan berakhir dengan kematian. Namun demikian, apakah Fir’awn hanya sebatas pada Fir’awn yang ada pada masa lalu aja? Selain itu, adanya Fir’awn juga kerap di kaitkan dengan adanya Hamman dan Qarun. Dan bagaimana mereka itu?
Jika kita menelaah dan meneliti ayat-ayat al-Qur’an lebih dalam, maka kita akan mendapati suatu penjelasan sebagaimana pendapat M. Syahrur bahwa al-Qur’an tidak menyebutkan nama lengkap Fir'awn, Hamman dan Qarun, tetapi mencukupkan dengan gelar kebesaran saja.
Hal ini sebagai simbol yang menunjukkan atas fenomena-fenomena tirani politik, tirani agama (teologi), tirani harta (ekonomi), tirani dalam model-model lainnya, dan hubungan antara satu dengan yang lain.
Munculnya penyebutan Fir’awn adalah simbol dari tirani politik dan kekuasaan. Term Fir’awn dalam al-Qur'an disebut sebanyak 74 kali, yakni lebih banyak dari pada ayat-ayat yang menjelaskan tentang wudhu, waris, shadaqah, perkawinan dan perceraian.
Mengutip pendapat Syahrur, bahwa Term Fir’awn dalam bahasa Arab terbentuk dari dua kata kerja, yang keduanya merupakan akar kata yang valid, yaitu:
Pertama, dari lafaz fara’a yang menunjukkan arti ketinggian, keagungan, melangit, kemudian dari lafaz itu muncul terma al-far’u yang berarti sesuatu yang tinggi dan tingginya sesuatu ketika saya meninggikannya. Misalnya dikatakan bahwa fulan itu meminta perlindungan kepada manusia dan gundukan jalan yang tingi dan menggunduk.
Kedua, adalah lafaz ‘awn sebagai kata dasar kemudian terbentuk kata al-I’anah, al-Ma’un, al-‘Awan, lafaz al-Darbah al-‘awan yang butuh evaluasi dalam Taj al-‘Arus dan lafadh al-harb al-’awn yang sebelumnya adalah harb bikrin, kemudian menjadi lafadh ‘iwanan yang bermakna seakan-akan mengalami proses peninggian dari suatu keadaan ke keadaan yang lain yang lebih besar.
Al-Iwan adalah sesuatu yang sebelum dan sesudah (terjadi sebelum dan sesudah Musa), seperti sapi yang sedang (tidak muda dan tidak tua) yang terdapat dalam surat al-Baqarah: 68.
قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا هِيَ قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لَا فَارِضٌ وَلَا بِكْرٌ عَوَانٌ بَيْنَ ذَلِكَ فَافْعَلُوا مَا تُؤْمَرُونَ
Artinya: “Mereka menjawab: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami, sapi betina apakah itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu".
Di mana terdapat kata kerja (fara’a+’awn = fir’ana) yang kemudian berubah menjadi Fir'awn.
Fir’awn adalah puncak tertinggi dalam piramida kekuasaan yang mencakup karakteristik tiranis (penindasan dan represi). Fenomena ini telah ada sebelum nabi Musa dan masih berlanjut setelahnya bahkan sampai sekarang. Karakteristik tersebut ditempelkan pada tirani yang melakukan penindasan dan represi sebelum dan sesudah Nabi Musa, terlepas dari nama lengkap mereka seperti halnya orang biasa, misalnya Ramses, Tahtamis dan Amnahautab.
Menurut Shahrur, bahwa Fir’awn adalah sebuah gelar bagi tirani politik atau rezim tunggal. Adapun karakteristiknya adalah:
Pertama, Penguasa mengklaim diri sebagai Tuhan rububiyah dan uluhiyah. Rezim penguasa tiran akan mengklaim bahwa seluruh negara beserta isinya adalah miliknya. Dengan menerapkan prinsip “Bukankah aku yang memiliki negara ini”, kemudian dia mengklaim bahwa manusia berakal tunduk di bawah kekuasaannya. Klaim ini menuntut manusia untuk patuh kepada Fir’awn dengan tidak melakukan perbuatan menurut kehendaknya sendiri, tanpa persetujuan dari Fir’awn. Hal ini dapat diketahui ketika Fir’awn berkata kepada tukang sihir: “Apakah kalian semua akan beriman sebelum aku memberi izin kepada kalian”. Selanjutnya Fir’awn menghukum dengan siksaan, “Maka sesungguhnya aku akan potong kedua kaki dan tangan kalian secara bergantian lalu aku akan menyalib kamu secara keseluruhan”. Hukuman tersebut dilakukan bukan karena tukang sihir beriman kepada Tuhannya Nabi Musa dan Nabi Ibrahim, melainkan mereka beriman sebelum mendapatkan persetujuan dari Fir’awn, dan jika mereka minta persetujuan Fir’awn, maka Fir’awn mengizinkannya karena permintaan izin itu tidak mempengaruhi uluhiyah Fir’awn.
Dua sifat tersebut adalah sifat kekuasaan tirani–absolut dan karakteristik fenomena Fir’awn yang masih bertahan hingga saat ini. Seorang tiran tidak selalu mengklaim secara terang-terangan bahwa dia adalah penguasa negeri dan penguasa penduduk negeri. Akan tetapi, dapat diketahui dari kualifikasi bentuk kekuasaan yang terdapat dalam dirinya. Sebaliknya, kita akan mendapati manusia yang hidup di bawah hegemoni kekuasaan tirani itu memiliki karakteristik tertentu, yakni masyarakat tersebut adalah komunitas yang teralienasi, baik dari sistem atau institusi yang ada di dalamnya. Karena itu, Allah Swt., memasukkan mereka dalam kategori fasiqin, karena tunduk pada hegemoni Fir’awn seperti dalam firman Allah Swt., dalam (Qs. Al-Zuhruf: 54)
فَاسْتَخَفَّ قَوْمَهُ فَأَطَاعُوهُ إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ
Artinya: “(Maka Fir’awn mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesunggunya mereka adalah kaum fasiq). (Al-Zuhruf: 54)
Kedua, Sifat tirani adalah sebuah sifat mengadu domba, sebagaimana firman Allah Swt., dalam al-Qasas: 4.
إِنَّ فِرْعَوْنَ عَلَا فِي الْأَرْضِ وَجَعَلَ أَهْلَهَا شِيَعًا يَسْتَضْعِفُ طَائِفَةً مِنْهُمْ يُذَبِّحُ أَبْنَاءَهُمْ وَيَسْتَحْيِي نِسَاءَهُمْ إِنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ
Artinya: “Sesungguhnya Fir’awn telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’awn termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Salah satu karakter dasar dari tirani politik, baik yang bersifat kolonialis asing atau pribumi, yaitu dengan memecah belah manusia dalam beragam golongan, dengan keberaniannya memecah belah pertalian darah, golongan dan aliran.
Ketiga: Adanya orang kepercayaan yang melaksanakan perintah-perintahnya yang mengklaim tiraninya sebagai Tuhan hakiki. Karakter ini disebut Allah Swt., sebagai “pembesar” sebagaimana firman-Nya: “Dan berkata Firaun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat, kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta". (Al-Qasas: 38). Dalam hal ini, bitanah (orang kepercayaan) itu terbentuk dalam sebuah tingkatan utama yang harus dimiliki oleh semua penguasa tirani yang mendukungnya dalam segala hal.
Karakteristik bitanah adalah menggantungkan kekuasaannya kepada kekuasaan Fir’awn, berbicara atas namanya, mengambil hak milik manusia menurut seleranya dengan menggunakan nama Fir’awn, menebarkan rasa takut yang mendalam pada hati manusia atas namanya, tenggelam dalam kemewahan yang mana orang-orang tertindas di muka bumi dilarang untuk menikmatinya, menebarkan propaganda bahwa Fir’awn adalah Tuhan dan segala sesuatu yang dikehendakinya adalah keagungan dan kekuasaannya.
Keempat, Penguasa membuat dan menambah kerusakan di muka bumi. Tirani politik adalah perbuatan zalim, sedangkan kebaikan dan kerusakan adalah hukum dialektika manusia dan masyarakat. Akan tetapi, sistem tiranik memiliki potensi lebih untuk berbuat kerusakan, bukan membuat kebaikan. Yang dimaksud dengan kerusakan adalah rusaknya tugas, fungsi negara dan relasi-relasi sosial dan ekonomi. Inilah karakteristik dasar rezim yang zalim sebagaimana firman Allah Swt., dalam surat al-Fajr: 6-12.
َلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ(6)إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ(7)الَّتِي لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِي الْبِلَادِ(8)وَثَمُودَ الَّذِينَ جَابُوا الصَّخْرَ بِالْوَادِ(9)وَفِرْعَوْنَ ذِي الْأَوْتَادِ(10)الَّذِينَ طَغَوْا فِي الْبِلَادِ(11)فَأَكْثَرُوا فِيهَا الْفَسَادَ
(Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum 'Ad?, (yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain, dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah, dan kaum Fir’awn yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak), yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu.).
Dengan demikian, apabila ada penguasa yang memiliki keempat karakteristik sebagaimana diatas, maka boleh jadi ia disebut dengan Fir’awn sebab Fir’awn bukanlah nama seorang raja melainkan sebuah gelar yang disandang oleh penguasa yang tirani.
Jika kita menelaah dan meneliti ayat-ayat al-Qur’an lebih dalam, maka kita akan mendapati suatu penjelasan sebagaimana pendapat M. Syahrur bahwa al-Qur’an tidak menyebutkan nama lengkap Fir'awn, Hamman dan Qarun, tetapi mencukupkan dengan gelar kebesaran saja.
Hal ini sebagai simbol yang menunjukkan atas fenomena-fenomena tirani politik, tirani agama (teologi), tirani harta (ekonomi), tirani dalam model-model lainnya, dan hubungan antara satu dengan yang lain.
Munculnya penyebutan Fir’awn adalah simbol dari tirani politik dan kekuasaan. Term Fir’awn dalam al-Qur'an disebut sebanyak 74 kali, yakni lebih banyak dari pada ayat-ayat yang menjelaskan tentang wudhu, waris, shadaqah, perkawinan dan perceraian.
Mengutip pendapat Syahrur, bahwa Term Fir’awn dalam bahasa Arab terbentuk dari dua kata kerja, yang keduanya merupakan akar kata yang valid, yaitu:
Pertama, dari lafaz fara’a yang menunjukkan arti ketinggian, keagungan, melangit, kemudian dari lafaz itu muncul terma al-far’u yang berarti sesuatu yang tinggi dan tingginya sesuatu ketika saya meninggikannya. Misalnya dikatakan bahwa fulan itu meminta perlindungan kepada manusia dan gundukan jalan yang tingi dan menggunduk.
Kedua, adalah lafaz ‘awn sebagai kata dasar kemudian terbentuk kata al-I’anah, al-Ma’un, al-‘Awan, lafaz al-Darbah al-‘awan yang butuh evaluasi dalam Taj al-‘Arus dan lafadh al-harb al-’awn yang sebelumnya adalah harb bikrin, kemudian menjadi lafadh ‘iwanan yang bermakna seakan-akan mengalami proses peninggian dari suatu keadaan ke keadaan yang lain yang lebih besar.
Al-Iwan adalah sesuatu yang sebelum dan sesudah (terjadi sebelum dan sesudah Musa), seperti sapi yang sedang (tidak muda dan tidak tua) yang terdapat dalam surat al-Baqarah: 68.
قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا هِيَ قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لَا فَارِضٌ وَلَا بِكْرٌ عَوَانٌ بَيْنَ ذَلِكَ فَافْعَلُوا مَا تُؤْمَرُونَ
Artinya: “Mereka menjawab: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami, sapi betina apakah itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu".
Di mana terdapat kata kerja (fara’a+’awn = fir’ana) yang kemudian berubah menjadi Fir'awn.
Fir’awn adalah puncak tertinggi dalam piramida kekuasaan yang mencakup karakteristik tiranis (penindasan dan represi). Fenomena ini telah ada sebelum nabi Musa dan masih berlanjut setelahnya bahkan sampai sekarang. Karakteristik tersebut ditempelkan pada tirani yang melakukan penindasan dan represi sebelum dan sesudah Nabi Musa, terlepas dari nama lengkap mereka seperti halnya orang biasa, misalnya Ramses, Tahtamis dan Amnahautab.
Menurut Shahrur, bahwa Fir’awn adalah sebuah gelar bagi tirani politik atau rezim tunggal. Adapun karakteristiknya adalah:
Pertama, Penguasa mengklaim diri sebagai Tuhan rububiyah dan uluhiyah. Rezim penguasa tiran akan mengklaim bahwa seluruh negara beserta isinya adalah miliknya. Dengan menerapkan prinsip “Bukankah aku yang memiliki negara ini”, kemudian dia mengklaim bahwa manusia berakal tunduk di bawah kekuasaannya. Klaim ini menuntut manusia untuk patuh kepada Fir’awn dengan tidak melakukan perbuatan menurut kehendaknya sendiri, tanpa persetujuan dari Fir’awn. Hal ini dapat diketahui ketika Fir’awn berkata kepada tukang sihir: “Apakah kalian semua akan beriman sebelum aku memberi izin kepada kalian”. Selanjutnya Fir’awn menghukum dengan siksaan, “Maka sesungguhnya aku akan potong kedua kaki dan tangan kalian secara bergantian lalu aku akan menyalib kamu secara keseluruhan”. Hukuman tersebut dilakukan bukan karena tukang sihir beriman kepada Tuhannya Nabi Musa dan Nabi Ibrahim, melainkan mereka beriman sebelum mendapatkan persetujuan dari Fir’awn, dan jika mereka minta persetujuan Fir’awn, maka Fir’awn mengizinkannya karena permintaan izin itu tidak mempengaruhi uluhiyah Fir’awn.
Dua sifat tersebut adalah sifat kekuasaan tirani–absolut dan karakteristik fenomena Fir’awn yang masih bertahan hingga saat ini. Seorang tiran tidak selalu mengklaim secara terang-terangan bahwa dia adalah penguasa negeri dan penguasa penduduk negeri. Akan tetapi, dapat diketahui dari kualifikasi bentuk kekuasaan yang terdapat dalam dirinya. Sebaliknya, kita akan mendapati manusia yang hidup di bawah hegemoni kekuasaan tirani itu memiliki karakteristik tertentu, yakni masyarakat tersebut adalah komunitas yang teralienasi, baik dari sistem atau institusi yang ada di dalamnya. Karena itu, Allah Swt., memasukkan mereka dalam kategori fasiqin, karena tunduk pada hegemoni Fir’awn seperti dalam firman Allah Swt., dalam (Qs. Al-Zuhruf: 54)
فَاسْتَخَفَّ قَوْمَهُ فَأَطَاعُوهُ إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ
Artinya: “(Maka Fir’awn mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesunggunya mereka adalah kaum fasiq). (Al-Zuhruf: 54)
Kedua, Sifat tirani adalah sebuah sifat mengadu domba, sebagaimana firman Allah Swt., dalam al-Qasas: 4.
إِنَّ فِرْعَوْنَ عَلَا فِي الْأَرْضِ وَجَعَلَ أَهْلَهَا شِيَعًا يَسْتَضْعِفُ طَائِفَةً مِنْهُمْ يُذَبِّحُ أَبْنَاءَهُمْ وَيَسْتَحْيِي نِسَاءَهُمْ إِنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ
Artinya: “Sesungguhnya Fir’awn telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’awn termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Salah satu karakter dasar dari tirani politik, baik yang bersifat kolonialis asing atau pribumi, yaitu dengan memecah belah manusia dalam beragam golongan, dengan keberaniannya memecah belah pertalian darah, golongan dan aliran.
Ketiga: Adanya orang kepercayaan yang melaksanakan perintah-perintahnya yang mengklaim tiraninya sebagai Tuhan hakiki. Karakter ini disebut Allah Swt., sebagai “pembesar” sebagaimana firman-Nya: “Dan berkata Firaun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat, kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta". (Al-Qasas: 38). Dalam hal ini, bitanah (orang kepercayaan) itu terbentuk dalam sebuah tingkatan utama yang harus dimiliki oleh semua penguasa tirani yang mendukungnya dalam segala hal.
Karakteristik bitanah adalah menggantungkan kekuasaannya kepada kekuasaan Fir’awn, berbicara atas namanya, mengambil hak milik manusia menurut seleranya dengan menggunakan nama Fir’awn, menebarkan rasa takut yang mendalam pada hati manusia atas namanya, tenggelam dalam kemewahan yang mana orang-orang tertindas di muka bumi dilarang untuk menikmatinya, menebarkan propaganda bahwa Fir’awn adalah Tuhan dan segala sesuatu yang dikehendakinya adalah keagungan dan kekuasaannya.
Keempat, Penguasa membuat dan menambah kerusakan di muka bumi. Tirani politik adalah perbuatan zalim, sedangkan kebaikan dan kerusakan adalah hukum dialektika manusia dan masyarakat. Akan tetapi, sistem tiranik memiliki potensi lebih untuk berbuat kerusakan, bukan membuat kebaikan. Yang dimaksud dengan kerusakan adalah rusaknya tugas, fungsi negara dan relasi-relasi sosial dan ekonomi. Inilah karakteristik dasar rezim yang zalim sebagaimana firman Allah Swt., dalam surat al-Fajr: 6-12.
َلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ(6)إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ(7)الَّتِي لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِي الْبِلَادِ(8)وَثَمُودَ الَّذِينَ جَابُوا الصَّخْرَ بِالْوَادِ(9)وَفِرْعَوْنَ ذِي الْأَوْتَادِ(10)الَّذِينَ طَغَوْا فِي الْبِلَادِ(11)فَأَكْثَرُوا فِيهَا الْفَسَادَ
(Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum 'Ad?, (yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain, dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah, dan kaum Fir’awn yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak), yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu.).
Dengan demikian, apabila ada penguasa yang memiliki keempat karakteristik sebagaimana diatas, maka boleh jadi ia disebut dengan Fir’awn sebab Fir’awn bukanlah nama seorang raja melainkan sebuah gelar yang disandang oleh penguasa yang tirani.