Monday, July 7, 2008

Filsafat Kenabian

PENDAHULUAN

Setiap agama langit, secara primer atau secara esensial, tentu mendasarkan ajaran-ajarannya pada wahyu dan ilham.[1] Dari wahyu dan ilhamlah agama samawi lahir, dan karena kemukjizatan wahyu dan ilhamlah ia menang, bahkan berdasarkan ajaran-ajaran wahyu dan ilhamlah segala kaidah dan sendinya berdiri tegak. Seorang Nabi tidak lain hanyalah manusia biasa yang diberi kekuatan untuk dapat berhubungan dengan Tuhan dan mengekspresikan kehendak-Nya. Agama Islam seperti halnya dengan agama-agama semit lainnya, mengambil ajaran-ajarannya dari langit dan sumber-sumbernya yang utama adalah al-Kitab sebagai wahyu yang lansung dan as-Sunnah sebagai wahyu yang tidak langsung. Sebagaimana firman Allah:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى. عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى(النجم: 3-5)

Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat,” (QS. An-Najm: 3-5)

Oleh karena itu, barang siapa yang mengingkari wahyu berarti ia menolak Islam secara keseluruhannya, atau sekurang-kurangnya merobohkan sendi-sendi yang utama dan fundamental. Bahkan tindakan itu merupakan pelanggaran terkutuk.

Kita akan melihat bagaimana filsafat kenabian memikul tugas mengemukakan dan menyelesaikan masalah yang muncul dari peran Muhammad Saw., sebagai Nabi dan rasul. Untuk itu, penulis berusaha membahasnya sekuat tenaga guna mencari pengetahuan tentang kenabian.

PEMBAHASAN

Peristiwa kenabian merupakan salah satu fase yang membentuk fakta al-Qur’an, dan memperluas kategori wahyu Yahudi-Kristen yang fundamental ke dalam dunia Arab. Dua lobang harus dihindari dalam usaha menangkap fungsi operatif dan fungsi direktif kenabian. Sikap positivis cenderung meminimalisir makna penting pengalaman keagamaan dan sikap orang fanatik yang tidak menggunakan pengalaman keagamaan karena sejarah dan secara bersemangat cenderung kepada figure simbolik yang disucikan. Jadi para ahli sejarah barat hampir tidak pernah memanfaatkan hagiographa dengan tujuan untuk mamahami proses-proses dan tingkat-tingkat transfigurasi tokoh-tokoh sejarah, sehingga memasukkan ke dalam mekanisme mental yang mengembangkan pemikiran dan memotivasi tindakan. Orang-orang yang beragama secara fanatik, dipihak mereka sendiri, telah menyingkirkan Nabi dari lingkungan kehidupan nyata, di mana Nabi menata energi kreatif dan kekuatan mobilisasinya, disamping menyebarkan pengaruhnya terhadap umat manusia dan peristiwa-peristiwa.

Esensi fungsi kenabian, menurut al-Qur’an dan kehidupan Muhammad terletak pada penyeimbangan sempurna antara pengalaman keagamaan dan aksi sejarah. Setiap aksi konkret Nabi membuka harapan baru bagi manusia. Apakah itu perang melawan musuh Allah, keputusan politik atau hukum, maupun transformasi pemujaan lama atau hubungan social, selalu dikukuhkan oleh apa yang terletak diluar ruang dan waktu, di mana peristiwa itu terjadi dan muatan-muatan langsung dari semangat yang memahami dan melaksanakan tindakan. Itulah pengertian wahyu yang “diturunkan” kepada Muhammad, setiap kali ia melakukan takdir spiritual umat dengan cara mengambil suatu keputusan. Orang-orang yang ironisnya mengamati bahwa Tuhan kadang-kadang campur tangan dalam saat keberhasilan untuk membangun kembali autoritas Nabi-Nya telah kehilangan pijakan mendasar ini: “Homogenitas” sempurna “antara kata dan aksi”, yang merupakan ciri utama kenabian. Baik mendahului atau mengikuti peristiwa kehidupan nyata, maka kata-kata yang diucapkan selalu mentransendensi dan memberi makna universal kepada aksi tertentu. Kata-kata Nabi ada dua kemungkinan : mengambil bentuk aforistik dan lebih mengusulkan daripada menentukan, lebih membuka prespektif daripada melacak jalur tunggal atau memberi untuk dipahami atau dibayangkan ketimbang menetapkan secara eksplisit; atau kata-kata Nabi menghapuskan situasi-situasi khusus disini daripada sekarang untuk menetapkan norma dalam skala referensi ruang dan waktu yang disebutkan di atas. Salah satu dari contoh yang paling signifikan dalam hal ini diberikan oleh ayat-ayat yang melarang riba, tempat (Madinah) dan situasi (penolakan orang-orang Yahudi untuk menyerahkan sumbangan keuangan yang ditawarkan oleh Muhammad) telah dihapuskan; yang ada hanyalah pernyataan tak berwaktu yanbg mengkontraskan perilaku orang-orang yang secara entusias mengumpulkan kekayaan yang tidak akan ada artinya bagi mereka dihari keadilan dengan orang-orang yang mendermakan kekayaannya yang “akan digandakan oleh Allah” (lihat 2:275-276; 3: 127-128)

Dengan demikian, Nabi menjawab kebutuhan akan kesaksian khas dalam sejarah yang langsung: ia merupakan saksi Ilahi dihadapan manusia dan saksi manusia dihadapan Tuhan. Ia secara tetap ditampilkan dalam Qur’an sebagai “orang yang membawa berita gembira”, “orang yang memperingatkan“, “penuntun”, “perantara” , teman”, yang terpilih”, “utusan firman Tuhan”….oleh karena itu, Nabi memiliki ciri sifat trinitas wahyu Yahudi-Kristen: Tuhan yang transenden menampilkan diri sebagai firman melalui perantaraan utusan-saksi. Muhammad memiliki sifat keutamaan menjadi utusan dan Nabi sekaligus. Utusan memiliki hubungan yang lebih akrab dengan Tuhan daripada Nabi: adalah fugsi langsungnya untuk menyampaikan firman yang bentuk dan maknanya diartikulasikan oleh Tuhan sendiri dan pengembangannya ditumpukan pada Nabi dan penggantinya yang absyah. [2]

Pertimbangan-pertimbangan ini harus dicamkan jika orang bermaksud memahami ruang lingkup psikologi dan keagamaan teori imamah syi’ah. Penegasan bahwa pengganti Nabi-rasul haruslah “keturunan spiritual”-nya persis sama dengan pelanggengan, dalam sejarah langsung, kebutuhan akan kesaksian spesifik, di mana Muhammad merupakan pemegangnya. Ini juga sama tegasnya dengan membedakan fakta Qur’an dari fakta Islam, yaitu dari lembga-lembaga keagamaan muslim, budaya muslim dan kitab etiko-hukum yang telah memberikan ekspresi kepadanya.

Sebenarnya pengingkaran wahyu dari agama Islam sudah muncul sejak masa Nabi Muhammad. Orang-orang kafir Quraisy tidak mau mengakui bahwa Nabi Muhammad mendapat wahyu dan dapat berhubungan dengan alam ketuhanan, sebab ia adalah manusia biasa yang makan, minum serta pergi ke pasar, sebagaimana dikisahkan dalam Al-Qur'an’an:

وَقَالُوا مَالِ هَذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الْأَسْوَاقِ لَوْلَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُونَ مَعَهُ نَذِيرًا (الفرقان: 7)

Dan mereka berkata: "Mengapa rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama-sama dengan dia?,(QS. Al-Furqan: 7)

Akan tetapi, mukjizat-mukjizat Nabi menyilaukan mereka dan kefasikannya telah membungkam mereka, padahal mereka adalah ahli retorika, ahli bahasa dan kesusastraan, oleh karena itu, mereka mulai menuduhnya sebagai tukang sihir dan tukang sulap. Darisini kemudian menjawab dengan mengatakan:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا(الكهف: 110)

Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (QS. Al-Kahfi: 110)

Muhammad tidak mendatangkan sesuatu dari dirinya sendiri, tidak mengada-ada, tetapi ia hanya menyampaikan risalah Allah, sebagaimana firman Tuhan:

يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ(المائدة: 67)

Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.

Ajaran Islam tentang wahyu mudah dan jelas, di mana malaikat Jibril yang dapat mengambil berbagai macam bentuk, seperti Malaikat-Malaikat lain juga bertugas sebagai penghubung antara Tuhan dengan Nabi-Nabi-Nya, dan dari Jibril-lah Muhammad menerima perintah agamanya, kecuali pada malam Isra’ Mi’raj saja, di mana ia dapat berhubungan dengan tuhan, karena jiwa yang suci pada waktu tengah tidur naik ke alam malakut dan di sana ia melihat rahasia-rahasia alam ghaib. Nabi Muhammad sendiri sebelum memulai dakwahnya telah melihat impian-impian, sebagai tanda akan di mulainya tugas-tugas yang disatu surat dalam al-Qur’an di mana seluruh pembicaraanya berkisar tentang impian, yaitu surat Yusuf Nabi juga mengatakan tentang impian: impian yang benar merupakan satu bagian dari 46 bagian kenabian.[3]

A. Beberapa Pendapat Seputar Kenabian

Berbagai tokoh mengeluarkan pemikirannya berkenaan dengan kenabian, berikut ini pendapat para pemikir berkenaan dengan konsep tersebut:

1. Al-Farabi

Al-Farabi merupakan orang yang pertama-tama membahas kenabian secara lengkap, sehingga penambahan dari orang lain hampir tidak ada. Total kenabian al-Farabi yang merupakan bagian terpenting dalam filsafat, ditegakkan atas dasar-dasar psikologi dan metafisika, dan erat hubungannya dengan lapangan akhlak dan politik.

Pada waktu membicarakan negeri utama, al-Farabi kita melihat bahwa manusia dapat berhubungan dengan akal-faal, meskipun hanya terbatas pada orang tertentu. Hubungan tersebut dapat ditempuh dengan dua jalan, yaitu jalan pikiran dan jalan imajinasi, atau dengan perkataan lain, melalui renungan pikiran dan inspirasi (ilham). Akan tetapi, tidak semua orang dapat mengadakan hubungan dengan akal-faal, melainkan hanya orang yang mempunyai jiwa suci yang dapat memembus dinding-dinding alam gaib dan dapat mencapai alam cahaya. Dengan melalui renungan-renungan pikiran yang banyak, seorang hakim (bijaksana) dapat mengalahkan hubungan tersebut, dan orang semacam inilah yang dapat diserahi al-Farabi untuk mengurusi negeri-utama yang dikonsepsikannya. Akan tetapi disamping melalui pemikiran hubungan dengan akal-faal, dapat pula terjadi dengan jalan imajinasi dan keadaan ini berlaku bagi Nabi-Nabi. Semua ilham dan wahyu yang disampaikan kepada kita merupakan salah satu bekas dan pengaruh imajinasi tersebut.

Kalau kita kembali pada pembahasan psikologi dari al-Farabi, maka kita akan mengetahui bahwa imanjinasi memainkan peranan yang penting dan memasuki segi-segi, gejala-gejala psikologis yang bermacam-macam. Imajinasi tersebut erat hubungannya dengan kecondongan dan perasaan, dan ada pengaruhnya pada gerak pikiran dan kemauan, serta mengarahkannya kepada arah tertentu. Di samping ini, imajinasi menyimpan obyek-obyek inderawi dan gambaran-gambaran alam luar yang masuk pada otak melalui indera-indera. Malah kadang-kadang tidak hanya menyimpan gambar-gambar pikiran, tetapi juga membuat gambaran baru yang sama sekali tidak ada miripnya dengan obyek-obyek inderawi. Di antara gambaran yang baru samasekali yang diciptakan oleh imajinasi ialah impian-impian. Dengan demikian, maka al-Farabi telah menyebutkan dua macam imajinasi, sepeti yang telah disebutkan oleh sarjana-sarjana psikologi modern, yaitu imagination creative (imajinasi pencipta) dan imagination consevatrice (imajinasi penyimpang).

Yang penting dalam hubungannya dengan kenabian ialah bagaimana pengaruh imajinasi terhadap impian dan pembentukannya, sebab apabila soal impian ini dapat ditafsirkan secara ilmiah, maka soal kenabian dan kelanjutan-kelanjutannya dapat ditafsirkan pula. Sebagaimana dimaklumi, ilham-ilham kenabian adakalannya terjadi pada waktu tidur atau waktu jaga, atau dengan kata lain, dalam bentuk impian yang benar atau wahyu. Perbedaan antara yang kedua ini bersifat relatif dan hanya mengenai tingkatannya, tetapi tidak mengenai esensinya (hakikatnya). Impian yang benar tidak lain adalah salah satu cabang kenabian yang erat hubungannya dengan wahyu dan tujuannya juga sama, meskipun berbeda caranya. Jadi apabila kita dapat menerangkan salah satunya, maka dapat pula menerangkan lainnya.

Keterangan al-Farabi tentang impian mendekati teori ilmu modern seperti yang dikemukakan oleh Freud, Harvy, dan moory, serta tokoh-tokoh psikologi modern yang menganalisa impian. Al-Farabi mengatakan bahwa apabila imajinasi telah bebas dari pekerjaan-pekerjaan diwaktu jaga, maka pada waktu sedang tidur ia bisa melayani dengan sepenuhnya terhadap gejala-gejala psikologi, kemudian ia membuat gambaran-gambaran baru atau mengumpulkan gambaran pikiran yang lama menurut bentuknya yang bermacam-macam, dengan terpengaruh perasaan-perasaan badan atau perasaan-perasaan jiwa atau pemikiran-pemikiran yang sedang dihadapinya waktu jaga. Jadi imajinasi tersebut adalah suatu kekuatan pencipta yang dapat menciptakan, membuat gambaran atau susunan baru, dapat meniru, dan mempunyai kesanggupan untuk menerima pengaruh.

Oleh karena itu, keadaan anggota badan psikologi dan perasaan-perasaan dari orang tidur, mempunyai pengaruh yang jelas terhadap imajinasinya, dan selanjutnya terhadap pembentukan impiannya.

Kalau imajinasi dapat mengadakan gambaran-gambaran tersebut, maka ia dapat pula membentuk gambaran-gambaran tersebut dengan bentuk alam rohani. Di samping itu, imajinasi kadang-kadang naik ke alam langit dan berhubungan dengan akal-faal untuk menerima hal-hal yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa khusus atau perorangan, dari sini maka terjadilah peramalan (tanabbu). Hubungan tersebut dapat terjadi di siang atau malam hari, dengan adanya hubungan ini, maka kita dapat menafsirkan kenabian, karena hubungan tersebut merupakan sumber impian yang benar dan wahyu.

Keistimewaan utama seoarang Nabi adalh karena Nabi mempunyai imajinasi yang kuat yang memungkinkannya berhubungan dengan akal-faal baik sedang jaga atau tidur. Dengan imajinasi tersebut, Nabi sampai pada persepsi dan realitas ayang dapat diraihnya yang nampak dalam bentuk wahyu atau mimpi yang benar, wahyu adalah pancaran dari Allah melalui akal-faal. Ada orang-orang yang mempunyai imajinasi yang kuat, tetapi mereka bukan Nabi, maka mereka tidak dapat berhubungan dengan akal-faal kecuali dalam keadaan tidur, dan kadang-kadang mengalami kesulitan dalam mengungkapkan apa yang mereka ketahui.[4]

2. Ibnu Rusyd

Ibnu Rusyd[5] adalah seorang filosof yang beraliran rasional. Ia menjunjung tinggi akal fikiran dfan menghargai peranan akal, karena dengan akal pikiran itulah manusia dapat menafsirkan alam wujud. Sebagai orang yang berfikir rasional, ia meafsirkan agama dengan penafsiran rasional, namun dia tetap berpegang teguh pada sumber agama itu sendiri yaitu Al-Qur'an.[6] Menurutnya, bahwa meskipun teori kenabian dibuat oleh filosof-filosof Islam sendiri, namun dapat diterima keseluruhanya dan bagi al-Ghazali tidak ada alasan untuk menolaknya. Selama kita mengakui bahwa kesempurnaan-rohani tidak dapat terjadi kecuali dengan adanya hubungan antara manusia dengan Tuhannya, maka tidak aneh jika soal kenabian ditafsirkan dengan hubungan tersebut. Hanya saja tafsiran-tafsiran ilmiah semacam ini harus terbatas pada filosof-filosof dan orang-orang pandai saja karena orang-orang awam tidak dapat mengetahui hakekat persoalan. Kita berbicara dengan orang lain menurut kesanggupannya, karena untuk tiap-tiap orang ada hidangannya sendiri.[7]

Dilain pihak, adanya para Nabi merupakan perkara yang untuk mengetahuinya tidak membutuhkan argumen teoritis. Keberadaan para Nabi merupakan peristiwa kesejarahan: informasi mengenai adanya Nabi telah ada sejak dulu secara mutawatir. Seorang Nabi adalah manusia yang mempunyai karakter cerdas, mulia dan mendapatkan wahyu (syari’at-syariat dari Tuhannya), tidak mungkin setiap orang membawa syari’at sebagaimana syari’at yang dibawa oleh para Nabi. Dengan demikian, setiap orang yang mengaku dirinya sebagai Nabi dan Rasul dari Allah dan dia membawa syari’at sebagaimana syari’at yang dibawa para Nabi, maka dia adalah Nabi.[8]

3. Al-Ghazali[9]

Walaupun dalam karangannya Tahafut Al-Falasifah ia bernada menentang teori kenabian dari al-Farabi, dengan mengatakan bahwa seorang Nabi dapat berhubungan dengan Tuhan dengan langsung atau dengan perantaraan malaikat, tanpa memerlukan kepada akal-faal atau daya imajinasi tertentu, atau cara-cara lain yang dikemukakan oleh filosof-filosof. Namun dalam bukunya yang lain, yaitu Al-Munqidzu Min Ad-Dlalal, al-Ghazali menetapkan bahwa kenabian adalah perkara yang dapat diakui menurut riwayat dan dapat diterima menurut pertimbangan pikiran. Dari segi pikiran, cukuplah diakui bahwa kenabian mirip dengan gejala-gejala kejiwaan yang diakui oleh kita semua, yaitu impian, dia berkata:

“Tuhan telah mendekatkan demikian itu (kenabian) kepada hamba-hamba-Nya dengan jalan memberikan kepada mereka suatu contoh dari ciri khas kenabian, yaitu tidur, karena orang tidur dapat melihat rahasia yang akan terjadi, baik dengan berbajukan perumpamaan yang akan terjadi, dengan jelas atau dengan berbajukan perumpamaan yang bisa diungkapkan dengan kata-kata.” [10]


4. Al-Afghani

Dalam hal ini dia memberikan suatu perumpamaan, bahwa masyarakat adalah badan, di mana anggota-anggotanya saling berhubungan dan mempunyai tugas dan fungsinya sendiri-sendiri. Kalau badan tidak bisa hidup tanpa roh, maka demikian pula masyarakat. Roh masyarakat adalah kenabian atau hikmah (filsafat). Jadi Nabi dan filosof (al-Hakim) bagi masyarakat sama kedudukannya dengan roh bagi badan. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa kenabian adalah anugerah Tuhan yang tidak bisa dicari, melainkan dikhususkan oleh tuhan untuk hamba-hamba yang disukai-Nya, karena Tuhan lebih mengetahui di mana Ia akan meletakka risalah-Nya, sedang filsafat bisa diperoleh dengan jalan renungan, kajian dan pemikiran atau analisa. Selain itu, Nabi adalah terjaga dari kekeliruan, sedang filosof bisa salah dan terjatuh kedalam noda dan kesalahan.[11]

Secara inti ada dua hal yang harus diketahui dari pemikiran al-Afghani, yaitu: Pertama, ia menjelaskan tugas Nabi yang bersifat social-politik. Tugas semacam ini untuk pertama kalinya diuraikan secara ilmiah oleh al-Farabi. Al-Afghani sebagai seorang penganjur agama dan politikus tertentu tidak akan melupakan cara penguraian tersebut. Kedua, baik al-Farabi maupun al-Afghani, Nabi dan filosof mirip sekali satu sama lain, karena kedua-duanya adalah roh (jiwa) masyarakat dan sumber kehidupan serta perbaikan.

Memang al-Afghani mengatakan adanya perbedaan antara seorang Nabi dengan filosof dari segi terhindar atau tidaknya dari kekeliruan, sedang al-Farabi tidak menjelaskan masalah ini, seolah-olah Nabi dengan filosof sama dari semua seginya.

5. Muhammad Abduh

Abduh banyak membaca karangan Ibnu Sina dan bertekad untuk menghidupkan kembali kajian-kajian terhadap filsafat klasik yang terbengkalai. Manusia adalah mahluk budaya yang menurut tabiatnya memerlukan pergaulan. Mereka mempunyai hak dan kewajibannya, tetapi adakalanya mereka mencampur adukkan antara hak dan kewajiban, bahkan sampai terjadi kekacauan, untuk menghindari hal tersebut, maka diperlukan sebagian anggitanya sebagai penunjuk jalan, memisahkan antara yang baik dan yang buruk, mengajarkan apa yang dikehendaki oleh Tuhan untuk memperbaiki kehidupan mereka didunia dan di akhirat, dan mengajarkan apa yang hendak diberuitahukan kepada mereka tentang urusan zat-Nya dan kesempurnaan sifat-Nya.

Mereka itu adalah para Nabi dan Rasul, kedatangan mereka sangat diperlukan bagi keberlangsungan kehidupan. Kedudukan mereka seperti kedudukan akal dalam diri manusia. Tidak heran kalau Tuhan menghususkan sebagian mahluk dengan wahyu dan ilham, karena jiwa mereka telah tinggi dan dapat menerima limpahan Tuhan dan rahasia-Nya. Tingkatan akal manusia antara yang satu dengan yang lain berbeda-beda, yang lebih rendah tidak bisa mempersepsi yang lebih tinggi kecuali secara global saja. perbedaan tersebut bukanlah akibat pengajaran semata, tetapi sering merupakan salah satu akibat perbedaan kejadian (fitrah) yang tidak tunduk pada hukum kasab dan ikhtiar. Seseorang selalu meningkat didalam kesempurnaan sehingga yang jauh nampak dekat baginya, dan terbukalah dinding-dinding alam ghaib yang ada didepannya.[12]

6. Ibnu Sina

Ibnu Sina menafsrikan teori kenabian secara psikologis dan mengeksplanasikan sebagian teks-teks agama dengan penakwilan-penakwilan yang sesuai dengan teori-teori filosofisnya. Pendapat Ibnu Sina, hampir sama dengan pendapat Al-Farabi, yaitu memulai kemudian menjelaskan mimpi secara ilmiah. Menurutnya, bahwa eksperimen dan pembuktian dapat menyaksikan bahwa jiwa manusia dapat mengetahui Al-Majhul (hal-hal yang tak tampak) di saat sedang tidur, sehingga tidak sukar baginya untuk menyingkapkan kembali kedalam kondisi dengan berjaga. Kenabian bersifat fitri bukan merupakan hasil pencarian.

B. Penolakan terhadap kenabian di dalam Islam

Pada masa-masa pertama Islam, kaum muslimin mempercayai sepenuhnya apa yang datang dari Tuhan, tanpa membahasnya atau mencari-cari alasanya. Namun keadaan ini tidak lama kemudian dikeruhkan oleh berbagaia keraguan, setalah golongan luar Islam dapat memasukkan pemikirannya dikalangan kaum muslimin, seperti golongan Masdak dan Mana’iah dari Persia, golongan Sumniyah dari agama Mrahma, orang-orang Yahudi dan Masehi, dan sebagainya. Sejak saat itu, dasar-dasar agama Islam dibahas dan dikritik. Disamping itu, konsep wahyu dan pewahyuan yang beredar dikalangan non Islam bahwa atas nama ilmu dan rasio mereka tidak mempercayai terjadinya wahyu dan pewahyuan, menolak fenomena komunikasi spiritual antara manusia dengan Tuhan. Mereka enggan menerima dalil-dalil syar’I disebabkan cara pandang mereka yang materealis-empiris.[13] Dalam menghadapi mereka, orang-orang Muktazilah telah memberikan bagian yang sukar dicari bandingannya. Dalam hubungan ini, serangan Ibnu ar-Rawandi dan Abu Bakar ar-Razi terhadap kenabian perlu dicatat.

Ibnu ar-Rawandi, dalam bukunya yang berjudul Az-Zamarudah mengingkari kenabian pada umumnya dan kenabian Nabi Muhammad pada khususnya, mengkritik terhadap ajaran-ajaran Islam dan ibadahnya, dan menolak mukjizat-mukjizat keseluruhannya. Khusus mengenai kenabian, ia mengatakan bahwa rasul-rasul itu sebenarnya tidak diperlukan, karena Tuhan telah memberikan akal kepada manusia, agar mereka dapat membedakan antara baik dengan buruk, dan petunjuk akal semata-mata sudah mencukupi, sehingga dibawah bimbingan akal sama sekali tidak tidak dibutuhkan risalah..

Abu Bakar ar-Razi, adalah seorang dokter dan filosof, juga tidak kalah bahayanya karena ia menulis dua buku, yaitu: Makhariq al-Anbiya aw Hiyal al-MutaNabi-in dan Naqdl al-Adyan aw fi Nubuwwat (menentang agama-agama atau tentang kenabian). Menurut Masignon, buku pertama tersebar luas, sampai mencapai dunia barat, dan untuk dunia ini, buku tersebut menjadi sumber kritikan-kritikan yang dilancarkan oleh rasionalis-rasionalis Eropa terhadap agama dan kenabian pada masa Frederick II. Buku kedua, beberapa bagiannya samapi kepada kita melalui tulisan-tulisan Abu Hatim ar-Razi dalam bukunya A’lam an-nubuwwah yang dikarang untuk menolak ar-Razi.

Serangan ar-Razi pada garis besarnya tidak jauh berbeda dengan ar-Rawandi, seolah-olah keduanya bersumber satu, atau seolah-olah ajaran Hindu dan Manu tersembunyi dibelakangnya, dan tidak jauh kemungkinannya kalau keduanya mengetahui kritik orang-orang Yunani terhadap berbagai agama. Bagaimanapun juga, baik karena terpengaruh oleh pikirannya sendiri, namun yang jelas ialah bahwa ia mengakui dirinya sebagai orang-orang yang mempunyai kelebihan-kelebihan khusus, baik pikiran maupun rohani, karena setiap orang itu sama dan keadilan Tuhan serta hikmah-Nya mengharuskan tidak dibedakannya seseorang dari lainnya.[14]

C. Tujuan Kenabian dan Misi Kenabian

Tujuan sebenarnya dari misi para Nabi adalah membimbing masyarakat dan memberikan kepada mereka kebahagiaan, keselamatan, kebaikan dan kesejahteraan.[15]

Nabi-Nabi mempunyai tujuan ganda, yaitu berkaitan dengan kehidupan dan kebahagiaan di akhirat (monotheisme teoritis dan monotheisme praktis individual), dan berkaitan dengan kebahagiaan duniawi (monotheisme sosial). Selain itu, tujuan kenabian adalah agar manusia mengenal Tuhan dan mendekatkan diri kepada-Nya. Mengajak makhluk untuk beribadah kepada Allah, menyampaikan perintah-perntah dan larangan-larangan Allah kepada manusia lain, sebagai teladan dan contoh yang baik, mengubah keinginan manusia dari kehidupan yang fana kepada kehidupan yang kekal.[16]

PENUTUP

Kenabian adalah suatu hal yang banyak menimbulkan interpretasi sendiri-sendiri, para tokoh berusaha mengemukakan pemikirannya dengan dilandasi argumen-argumen dan metodologi yang mereka pakai. Para Nabi adalah mereka yang mendapatkan wahyu dan ilham dari Allah. Mereka adalah manusia pilihan dan mempunyai daya nalar dan imajinasi yang sangat kuat disertai dengan jiwa yang bersih serta terjaga dari kesalahan dan dosa, sehingga tidak semua manusia dapat menjadi Nabi, walaupun mereka mempunyai daya nalar yang kuat.


DAFTAR PUSTAKA

A. Mustafa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2004)

Ahmad Zainal Abidin, Riwayat Hidup al-Ghazali, (Jakarta: bulan Bintang, 1975)

Al-Ahwani, Ahmad Fuad, Filsafat Islam, terj. Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997)

Al-Jabiri, Muhammad Abed, Nalar Filsafat dan Teologi Islam, terj. Aksin Wijaya, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003)

Arkoun, Muhammad, Pemikiran Arab, terj. Yudian W. Asmin, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996)

Ash-Shabuny, Muhammad Ali, Kenabian dan Para Nabi, terj. Arifin Jamian Ma’un, (Surabaya: Bina Ilmu, 1993)

Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996)

Ibrahim Madhkour, Filsafat Islam; Metode dan Penerapan, terj. Yudian Wahyudi, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1993)

Ismail, Ahmad Syarqawi, Rekonstruksi Konsep Wahyu Muhammad Syahrur, (Yogyakarta: elSAQ, 2003)

Madjid, Nur Cholis, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984)

Murtadha Muthahari, Falsafah Kenabian, terj. Ahsin Muhammad, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1991)



[1] Ibrahim Madhkour, Filsafat Islam; Metode dan Penerapan, terj. Yudian Wahyudi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), h. 85

[2] Muhammad Arkoun, Pemikiran Arab, terj. Yudian W. Asmin, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 14

[3] Ibid. h. 15

[4] Madhkour, Filsafat Islam.., h. 97

[5] ia dilahirkan di kota Cordova pada tahun 1126 M. / 520 H. nama lengkapnya adalah Abdul Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd. Dia dilahirkan pada masa pemerntahan Al-Murafiyah yang kemudian digulingkan oleh Al-Muwahiddah di Marakisy. Ibnu Rusyd terkenal merupakan orang yang pandai dalam bidang Fiqh (dengan karyaya yang sangat terkenal, yaitu Bidayah a-Mujatahid wa Nihayatul Muqtashid), kedokteran dan Filsafat. Dengan kecerdasannya tersebut, maka tidak heran jika Ibnul Abar mengatakan “Di Andalusia belum pernah ada seorang ilmuwan yang utama dan sempurna seperti dia sekalipun mulia ia sangat rendah hati dan tidak sombong.” Lihat dalam A. Mustafa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 283-284

[6] Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, terj. Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 25-26

[7] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 108

[8] Muhammad Abed Al-Jabiri, Nalar Filsafat dan Teologi Islam, terj. Aksin Wijaya, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), h. 162

[9] Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-ghazali al-Thusi al-Syafi’i. Dia ilahirkan di Thus, suatu kota kecil yang ada di Khurasan pada tahun 450 M. Dia merupakan orang yang ahli dalam bidang teologi, tasawuf, adab dan dapat juga dimasukkan sebagai ahli filsafat walaupun tidak semua filosof sepakat memasukkannya. Dia kemudian mendapat gelar sebagai Hujjatul Islam karena pembelaannya terhadap Islam terutama terhadap kaum Bathiniyah dan kaum filosuf. Akan tetapi, disisi lain al-Ghazali mendapatkan serangan dan cemoohan dengan istilah “Si penyembelih ayam yang bertelur emas”, hal ini dikarenakan dia dianggap sebagai orang yang mengakibatkan kemandegkan pemikiran. Bandingkan dalam Ahmad Zainal Abidin, Riwayat Hidup al-Ghazali, (Jakarta: bulan Bintang, 1975), h. 28, Nur Cholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 31

[10] Hanafi, Pengantar…,h. 108

[11] Madhkour, Filsafat Islam..h. 159

[12] ibid. h. 164

[13] Ahmad Syarqawi Ismail, Rekonstruksi Konsep Wahyu Muhammad Syahrur, (Yogyakarta: elSAQ, 2003), h. 30

[14] Hanafi, Pengantar…, h. 105

[15] Murtadha Muthahari, Falsafah Kenabian, terj. Ahsin Muhammad, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1991), h. 29

[16] Muhammad Ali Ash-Shabuny, Kenabian dan Para Nabi, terj. Arifin Jamian Ma’un, (Surabaya: Bina Ilmu, 1993), h. 39-44

No comments: