Monday, July 7, 2008

Positivisme

POSITIVISME

(Sebuah Analisis dan Kritik atas Kelebihan dan Kekurangannya)

Dalam pikiran, buah adalah awal

Dalam aktualitas adalah akhir untuk menjadi

Nyata setelah mengaktualkan pohon.

Dengan menanamnya, kalian akan

Mengeja kata-kata kalian sendiri

Dari awal hingga akhir….(Jalaludin Rumi)

A. PENDAHULUAN

Usaha manusia untuk mencari pengetahuan yang bersifat mutlak dan pasti telah berlangsung terus menerus dengan penuh semangat, seperti rasionalisme, empirisme ataupun yang lainnya. Walaupun begitu, paling tidak sejak zaman Aristoteles, terdapat tradisi epistemology yang kuat untuk mendasarkan diri pada pengalaman manusia dan meninggalkan cita-cita untuk mencari pengetahuan yang mutlak tersebut.

Paham positivisme muncul di Perancis yang dipelopori oleh Isidore Auguste Marie Francois Xavier Comte, atau yang lebih dikenal dengan sebutan August Comte. Ia lahir pada tahun 1798 di kota Monpollier Selatan, ia berasal dari keluarga kelas menengah, ia anak seorang pegawai kerajaan dan penganut agama Katholik yang saleh. Ia menikahi Caroline seorang bekas pelacur yang nampaknya dari perkawinan itu adalah satu-satunya kesalahan besar yang ada dalam kehidupannya. Pada tahun 1814–1817, Comte belajar di sekolah Politeknik di Paris. Pada tahun 1817, dia diangkat menjadi sekretaris Saint Simon, akan tetapi kemudian Comte memisahkan diri ketika dia menerbitkan buku “Sistem Politik Positif” di tahun 1824. pada tahun 1830 buku yang berjudul “Filsafat Positif” diterbitkan, dan disusul dengan karangan-karangan selanjutnya sampai pada tahun 1842 M. dari sini, kemudian Comte dianggap sebagai orang yang pertama kali memakai istilah sosiologi – meski ada yang beranggapan lain, misalnya adalah Erikson yang mengatakan bahwa yang lebih tepat menjadi sumber awal sosiologi adalah Adam Smith atau kaum Morallis Scottish pada umumnya.

Sejak kecil Comte telah menunjukkan diri sebagai seorang yang berpikiran bebas, mempunyai kemampuan berpikir, penganut republik yang militan, skeptis terhadap ajaran-ajaran agama Katholik, dan kritis terhadap maha gurunya. Pemikiran-pemikiran Comte banyak dipengaruhi pemikiran gurunya, yaitu Saint Simon, yang kemudian dipengaruhi oleh revolusi Perancis.

Di lain pihak, pemikiran Comte juga dipengaruhi oleh Revolusi Perancis. Di mana dengan munculnya revolusi industri telah mengubah tatanan social yang tertib yang dibangun atas dasar pola agraris dan digantikan dengan tatanan masyarakat industri. Perubahan dan perkembangan ini menimbulkan konflik dan bahkan krisis akibat terjadinya benturan antara masyarakat tradisional dengan masyarakat industri baru. Selain hal itu, kondisi Perancis pada saat itu dilanda kekacauan social, pemberontakan rakyat dan perombakan kekuasaan politik, sehingga imbasnya ke segala bidang kehidupan. Pada awalnya Comte berharap bahwa dengan revolusi tersebut akan melahirkan jalan keluar atas masalah-masalah social yang ada, akan tetapi setelah melihat bahwa tatanan social yang ada malah menjadi rusak dan bertentangan dengan apa yang dia cita-citakan. Dari kondisi tersebut, kemudian dia memberikan penjelasan tentang law of three stages.

Dalam memahami krisis, Comte berpendapat bahwa harus melalui pedoman-pedoman berpikir ilmiah. Ia juga banyak dipengaruhi filsafat Ensiklopedist Perancis, aliran reaksioner, dan sosialistik. Kemudian ia dikenal sebagai pencetus perspektif pengetahuan positivisme atau filsafat positivistic, sebagai bentuk perlawanan terhadap filsafat dan cara berpikir yang melandasi para filosof pencerahan.

Comte merupakan sosok yang tidak mau untuk kembali pada abad pertengahan, hal ini dikarenakan perkembangan industri dan pengetahuan. Di lain pihak, ia mengembangkan system teoretikal yang menarik dari pada pendahulunya, sehingga lebih memadai sebagai dasar pijakan pemikiran awal sosiologi. Sebagai perwujudan perlawanannya terhadap filsafat negatif yang mendasari pencerahan dan revolusi Perancis, ia secara tegas menolak perubahan revolusioner, dan ia menganjurkan adanya perubahan evolusi.

Positvisme tradisional memiliki tujuan untuk menciptakan landasan filosofis bagi semua ilmu pengetahuan yang menjadi dasar bagi konsep keimanan baru bagi masyarakat, utamanya adalah untuk meletakkan teori sosiologi yang didasarkan pada metode ilmiah.

Pengertian “positif” menurut August Comte dalam karyanya Discours sur Lesprit Positif, secara eksplisit dia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan positif adalah:

ü Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang bersifat khayalan, maka pengertian positif pertama-tama diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang nyata. Hal ini ditandai bahwa dalam menyelidiki obyek kajiannya didasarkan pada kemampuan akal, sedang hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal tidak akan dijadikan obyek kajian.

ü Sebagai lawan dari sesuatu yang tidak bermanfaat, maka pengertian “positif” diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang bermanfaat. Hal ini ditandai bahwa didalam filsafat positivisme, segala sesuatu harus diarahkan kepada pencapaian kemajuan. Filsafat tidak hanya berhenti pada pemenuhan kebutuhan manusia untuk memperoleh pengetahuan atau pengertian mengenai barang sesuatu saja.

ü Sebagai kebalikan dari sesuatu yang meragukan, maka pengertian “positif” disini adalah sesuatu yang sudah pasti. Hal ini sesuai dengan ajarannya yang menyatakan bahwa filsafat harus sampai pada suatu keseimbangan yang logis yang membawa kebaikan bagi setiap individu dan masyarakat.

ü Sebagai kebalikan dari sesuatu yang kabur, maka positif disini bermakna sesuatu yang jelas atau tepat. Hal ini sesuai dengan ajarannya bahwa dalam pemikiran filsafat, kita harus dapat memberikan pengertian yang jelas atau tepat, baik mengenai gejala-gejala yang nampak maupun mengenai apa sebenarnya kita butuhkan.

ü Sebagai kebalikan dari sesuatu yang negatif, maka pengertian positif dipergunakan untuk menunjukkan sifat-sifat pandangan filsafatnya yang menuju ke arah penataan atau penertiban.

Pengertian positif oleh August Comte dipergunakan untuk memberikan ciri khas dan metode yang sesuai dengan kekhasan itu yang berbeda dengan pandangan filsafat lama yang bercorak teologik dan metafisik.

Selain August Comte, banyak juga tokoh yang berkecimpung dan membahas dalam wacana positivisme, di antara mereka adalah Bentham dan Mill (keduanya seangkatan dengan Comte), Herbert Spencer, Heckel, Monisme (yang mengembangkan tentang konsep positivisme revolusioner), March, Avenarius, Pearson dan Petzoldt (yang mengembangkan positivisme kritis).

B. PEMBAHASAN

Istilah positivisme pertama kali digunakan oleh Saint Simon (sekitar tahun 1825 M.), jikalau kita melihat lebih lanjut, maka dapat kita katakan bahwa positivisme merupakan kelanjutan dari empirisme. Prinsip filosofik tentang positivisme pertama kali dikembangkan oleh seorang empiris Inggris yang bernama Francis Bacon (sekitar tahun 1600 M.).

Tesis positivisme adalah bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang dapat menjadi obyek pengetahuan. Dengan demikian, positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subyek dibelakang fakta, menolak segala penggunaan metoda diluar yang digunakan untuk menelaah fakta.Atas keberhasilan teknologi industri pada abad XVIII, positivisme mengembangkan pemikiran tentang ilmu univesal bagi kehidupan manusia, sehingga berkembang ethika, politik, dan juga agama sebagai disiplin ilmu. Tentulah yang demikian itu menjadikan ethika, politik dan agama yang positivistic.

Filsafat positivistic Comte tampil dalam studinya tentang sejarah perkembangan alam fikir manusia. Matematika bukanlah sebagai ilmu, melainkan sebagai alat berfikir logic.

Dalam pandangan Comte, untuk menciptakan masyarakat baru yang serba teratur, maka diperlukan adanya upaya perbaikan jiwa atau budi terlebih dahulu. Adapun jiwa atau budi itu berkembang dalam tiga tahap (law of three stages), yaitu:

a. Tahap Teologis

Dalam tahap ini, masyarakat percaya akan kekuatan supranatural dan agama di atas segala-galanya. Manusia menempatkan diri sebagai peserta atau penggembira, yang kemudian dalam istilah Bruhl disebut dengan “mental partisipasi”, di mana manusia dalam hidupnya tidak dapat lebih selain ikut serta dalam proses-proses kosmos yang dikendalikan oleh gagasan-gagasan keagamaan. Dunia fisik maupun dunia sosial dipandang sebagai produk Tuhan. Bentuk-bentuk pemikiran tahap awal perkembangan atau evolusi manusia ini antara lain adalah fethisisme dan animisme yang menganggap bahwa alam semesta ini berjiwa. Benda-benda dianggap sebagai sosok particular, unik, individual dan bukan sesuatu yang abstrak dan umum. Dunia dihayati sebagai kediaman roh-roh atau bangsa halus, sebagai cerminan penghayatan keIlahian manusia purba.

Selain fethisisme dan animisme, berkembang faham baru dalam tahap teologi ini, yaitu faham Politheisme, di mana faham ini mulai menyatukan dan mengelompokkan semua benda dan kejadian alam dengan berdasar pada kesamaan-kesamaannya. Dengan demikian, menggambarkan upaya manusia untuk berpikir lebih teratur, terti dan lebih sederhana dalam memandang alam semesta yang beraneka ragam. Dari sini, kemudian akan sampai pada pandangan monotheisme, yang mana dapat berpikir lebih sistematik. Kekuatan yang puspa ragam itu disederhanakan menjadi satu Tuhan yang berdaulat penuh dan berkuasa mutlak atas langit dan bumi.

b. Tahap Metafisik

Dalam tahap ini, manusia berkeyakinan bahwa kekuatan abstrak dan bukan personifikasi Tuhan adalah sumber kekuatan fisik maupun sosial. Dengan kata lain, ketika mencoba menjelaskan berbagai peristiwa dan fenomena alam, manusia mencoba melakukan abstraksi dengan kekuatan akal budinya, sehingga diperoleh pengertian-pengertian metafisis. Prinsip-prinsip penjelasan tentang realitas, fenomena dan berbagai peristiwa dicari dari alam itu sendiri. Akan tetapi, penjelasan yang dilakukan belum bersifat empirik, maka cara menjelaskan berbagai realm kehidupan itu tidak berhasil membuahkan ilmu pengetahuan baru, dan belum dapat menjelaskan hukum alam, kodrat manusia, keharusan mutlak dan berbagai pengertian lainnya. Sehingga menurut Comte, cara berfikir metafisik ini sebenarnya adalah pergantian nama dari cara berfikir teologis. Baginya, cara berfikir manusia harus keluar dari tradisi teologis maupun metafisik untuk menghasilkan pengetahuan yang dapat dijadikan sebagai sarana mencari kebenaran.

c. Tahap Positivistic

Dalam tahap ini, manusia sampai pada pengetahuan yang tidak lagi abstrak, tetapi pasti, jelas dan bermanfaat, selain itu masyarakat mempercayai pengetahuan ilmiah dan manusia berkonsentrasi pada kegiatan observasi untuk menemukan keteraturan dunia fisik maupun sosial.

Pada tahap ini, gejala alam diterangkan oleh akal-budi berdasarkan hukumnya yang dapat ditinjau, diuji, dan dibuktikan atas dasar metode empirik. Manusia tumbuh menjadi kekuatan yang mampu menggunakan akal-budinya untuk menemukan pengetahuan baru, yang menjadi focus perhatian ilmu pengetahuan adalah jawaban atas pertanyaan, “Bagaimana sesuatu dapat terjadi, bukan kenapa ia terjadi?” dalam tahap inilah pemikiran positivistic, empirik dan naturalistic menggantikan otoritas pengetahuan teologis serta pengetahuan metafisis. Orde empirik yang disandarkan kepada pencerahan akal-budi, seperti yang diimpikan oleh Rene Descartes (1596-1650, yang mana ia berkeinginan untuk mendasarkan keyakinannya pada sebuah landasan yang mempunyai kepastian yang mutlak) muncul kepermukaan, sehingga menandai dimulainya suatu perubahan cara hidup manusia yang baru. Cara berfikir spekulatif, normologik harus menyerahkan otoritas hegemoniknya kepada dominasi berfikir empirik-nomotetik, cara berfikir yang menganut pengetahuan nauralistik.

Dengan keyakinan kebenaran law of three stages, Comte melihat sejarah sebagai suatu derap atau gerak perkembangan yang dapat mengantarkan setiap orang atau masyarakat ke masa depan yang sama yaitu kemajuan (progress). Makna yang terkandung dalam law of three stages, tidak lain adalah “positif” dalam arti kemajuan. Keyakinannya dilukiskan dalam citranya terhadap masyarakat yang sampai pada tahap positif, yaitu masyarakat yang terbaik, karena kaum elite cendekiawan dan industrialis dengan sikapnya yang rasional dan ilmiah akan mampu membentuk rezim yang akan mengatur kehidupan masyarakat atas dasar cinta kasih sebagai pedomannya, ketertiban sebagai landasannya dan kemajuan sebagai tujuannya.

Selain itu, Comte juga menawarkan bagaimana cara berfikir modern menolak filsafat dimasa-masa sebelumnya, yaitu:

“Jika kita merenungkan semangat positive dikaitkan dengan konsep ilmiah….kita akan menemukan bahwa filsafat ini berbeda dengan theologico-methaphisical, karena kecenderungan untuk menggambarkan ide-ide relative, ide-ide yang semula absolut. Bagian yang tak terelakkan dari absolut menuju relative ini adalah salah satu hasil dari filksafat yang sangat penting dari setiap revolusi intelektual yang telah dilakukan pada setiap bentuk spekulasi dari teologi atau metafisikal menuju ranah berfikir ilmiah. Dalam pandangan ilmiah, perbedaan antara relative dan absolut itu dapat dianggap sebagai manifestasi dari penolakan yang jelas dari filsafat modern terhadap filsafat dimasa lalu.”

Di samping itu, berkaitan dengan kecenderungannya untuk menelusuri ilmu pengetahuan atas dasar hukum keteraturan alam, Comte menyatakan:

“Cukup lama manusia belajar bahwa kekuatan manusia memodifikasi fenomena hanya akan berhasil jika melalui pengetahuannya tentang hukum alam; dan ketika berhadapan dengan ketidakdewasaan ilmu pengetahuan, mereka yakin bahwa dirinya mempu mengerahkan kekuatannya yang tak terbatas menghadapi fenomena pengetahuan semacam itu….kita menyaksikan aliran metafisikal….menganggap peristiwa-peristiwa yang bisa diamati sebagai kebetulan dan kadang-kadang metode yang ditawarkannya nampak sangat absurd, melecehkan keuatan akal-budi manusia dalam memahami kehidupan manusia….aliran ini melihatkan tindakan sosial manusia menjadi tidak pasti dan arbitrary, termasuk dalam memikirkan gejala biologi, kimia, fisika dan bahkan astronomi, pada tahap awal perkembangan ilmu pengetahuan yang mereka miliki…disitu tidak ada peluang menumbuhkan keteraturan dan consensus…prosedur (positive) adalah basis pengetahuan dalam kehidupan manusia; karena kecenderungan watak manusia yang menghendaki karakteristik otoritas yang sebenarnya yang harus dipenuhi dengan menempuh hukum rasional.”

Oleh karena itu, Comte beranggapan bahwa pengetahuan sosial mensyaratkan subordinasi observasi terhadap hukum static maupun dinamik suatu fenomena, karena tidak ada fakta sosial yang mampu menghasilkan pengetahuan ilmiah kecuali ia dikaitkan dengan fakta-fakta sosial yang lain. Tanpa menghubungkan fakta sosial tersebut, hanya akan melahirkan anekdot dan tidak akan memberi manfaat apa-apa terhadap kebutuhan rasional.

Dalam mengembangkan teori sosiologi, Comte lebih memilih unit analisis macro (obyektif) dari pada individu. Dalam hal ini, entitas yang lebih besar seperti keluarga, struktur sosisal dan perubahan sosial. Ia manganjurkan untuk keluar dari pemikiran abstrak dan melakukan riset dengan metode eksperimentasi dan analisis perbandingan sejarah. Pada intinya ia beranggapan bahwa gagasan terdahulu yang mendasari pengembangan struktur masyarakat mapun negara, atas dasar pemikiran spekulatif sudah tidak relevan dengan munculnya positive. Sejarah perkembangan manusia adalah bersifat mutlak universal dan tak terelakkan. Dengan demikian, dia membuka keyakinan baru tentang peran manusia yang lebih optimistic, yaitu bahwa dengan pemikiran empirik, rasional dan positive, manusia akan mampu menjelaskan realitas kehidupan, tidak secara spekulatif, arbitrary, melainkan konkrit, pasti dan bisa jadi mutlak.

Pada dasarnya, ilmu pengetahuan dikuasai oleh pengertian-pengertian teologis, setelah itu dikeruhkan oleh pemikiran metafisis dan akhirnya tiba dizaman hukum positif yang cerah.

Menurut Comte, ilmu yang pertama adalah astronomi kemudian fisika, kimia dan akhirnya phisiologi (biologi). Walaupun Comte adalah seorang pakar matematika, akan tetapi dia memandang bahwa matematika bukanlah ilmu, melainkan alat untuk berfikir logic, dan matematika dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena. Akan tetapi dalam prakteknya, phenomena memang lebih kompleks.

Di masa sekarang, haruslah mengabdikan ilmu yang disebut positif. Disamping matematika, fisika dan biologi dalam ilmu kemasyarakatanpun semangat positif ini harus dimasukkan. Apa-apa yang tidak positif itu akan dapat kita alami dan dalam pada itu baiklah orang mengatakan bahwa ia tidak tahu saja.

Dengan demikian, pada dasarnya zaman positif adalah zaman ketika orang tahu, bahwa tiada gunanya untuk berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologis maupun metafisis. Ia tidal lagi melacak asal dan tujuan terakhir seluruh alam semesta ini, atau melacak hakekat yang sejati dari sesuatu yang berada dibelakng segala sesuatu. Sekarang orang berusaha menemukan hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang telah disajikan kepadanya, yaitu dengan pengamatan dan memakai akal-budinya. Pada zaman ini, pengertian “menerangkan” berarti: fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta yang umum. Tujuan tertinggi pada zaman ini akan tercapai jika segala gejala telah dapat disusun dan diatur dibawah satu fakta yang umum saja.

Sedangkan menurut Bentham dan Mill, bahwa ilmu yang valid adalah ilmu yang dilandaskan pada fakta. Ethik tradisional yang dilandaskan pada moral, diganti dengan ethik yang dilandaskan pada motif perilaku, pada kepatuhan manusia terhadap aturan. Mill menolak kekuasaan absolut dari agama, karena kebebasan manusia itu bagaikan a sacred fortress (benteng suci) yang aman dari penyusupan otoritas-apapun.

Positivisme logic menolak yang absolut, karena hal itu merupakan kebenaran diluar waktu, merupakan sesuatu yang transenden, dan merupakan ilusi. Sesuatu yang bermakna menurut positivist ini dunia abadi itu sesuatu yang tidak dapat dibuktikan ada atau tidak ada. Realisme dan idealisme merupakan tesis epistemology yang tiada makna.

C. ANALISA

Kalau kita lihat positivisme dari sudut pandang asalnya, maka kita akan dapat mengetahui bahwa positivisme berakar dari teori empirisme, di mana aspek yang terkandung dalam empirisme juga terkandung dalam positivisme, aspek tersebut adalah:

v Perbedaan antara yang diketahui dan yang mengetahui. Yang mengetahui adalah subyek dan benda yang diketahui adalah obyek. Terdapat alam nyata yang terdiri dari fakta atau obyek yang adapat ditangkap oleh seseorang. Hal ini sama dengan positivisme, di mana hal-hal yang nyata dan dapat diketahuilah yang dapat diteliti, suatu hal yang bersifat khayalan atau yang maya maupun yang mistis tidak dapat dijadikan kajian.

v Kebenaran atau pengujian kebenaran dari fakta atau obyek didasarkan pada pengalaman manusia, atau dalam hal ini maka pernyataan ada atau tidak adanya sesuatu haruslah memenuhi persyaratan pengujian publik. Sedangkan dalam positivisme, menurut Comte, di mana didalam pengetahuan sosial mensyaratkan subordinasi observasi dan juga pengujian.

v Prinsip keteraturan. Pengetahuan tentang alam didasarkan pada persepsi mengenai cara yang teratur tentang tingkah laku sesuatu, dan pada dasarnya alam adalah teratur. Dengan melukiskan bagaimana sesuatu telah terjadi dimasa lalu atau dengan melukiskan bagaimana tingkah laku benda-benda yang sama sekarang.

Dalam law of three stages, tercermin pandangan Comte tentang garis perkembangan menuju ke arah kemajuan, yang berlaku tidak saja dalam proses sejarah kehidupan manusia, akan tetapi juga dalam proses perkembangan jiwa manusia secara individual dan keseluruhan. Pandangan tersebut juga terlihat dalam penggolongan ilmu pengetahuan yang ia susun. “Kemajuan” merupakan segi kekuatan filsafat positivisme August Comte, artinya filsafat tersebut ternyata dapat mempertebal rasa optimisme ataupun mitos yang telah timbul sejak zaman Aufklarung tentang masa depan manusia yang cerah atau maju.

Filsafat positivisme mempunyai tempat tersendiri dalam sejarah filsafat Barat, banyak para tokoh yang mengatakan bahwa Comte bukanlah seorang paham dogmatisme karena ia selalu melacak percobaan yang terjadi dalam pandangan manusia, serta selalu mengemukakan relatifnya pengetahuan manusia. Dia juga bukanlah penganut paham idealisme, karena ia selalu menegaskan bahwa corak khas filsafat positivism terletak pada penempatan imajinasi di bawah kendali pengamatan terus menerus.

Logika positivisme berkembang menjadi logika atomisme Russel dan Wittgenstein, perkembangan logicapositisme kemudian banyak digarap oleh para anggota lingkaran Wina dan mencurahkan perhatiannya untuk dua sasaran, yaitu penyatuan ilmu dan pengabaian metafisik.

Dari deskriptif ringkas di atas mengenai positivisme, maka sebenarnya positivisme mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan, yaitu antara lain:

a. Kelebihan Positivisme

Di antara kelebihan positivisme adalah:

Ø Positivisme lahir dari faham empirisme dan rasional, sehingga kadar dari faham ini jauh lebih tinggi dari pada kedua faham tersebut.

Ø Hasil dari rangkaian tahapan yang ada didalamnya, maka akan menghasilkan suatu pengetahuan yang mana manusia akan mempu menjelaskan realitas kehidupan tidak secara spekulatif, arbitrary, melainkan konkrit, pasti dan bisa jadi mutlak, teratur dan valid.

Ø Dengan kemajuan dan dengan semangat optimisme, orang akan didorong untuk bertindak aktif dan kreatif, dalam artian tidak hanya terbatas menghimpun fakta, tetapi juga meramalkan masa depannya.

Ø Positivisme telah mampu mendorong lajunya kemajuan disektor fisik dan teknologi.

Ø Positivisme sangat menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik pada epistemology ataupun keyakinan ontologik yang dipergunakan sebagai dasar pemikirannya.

b. Kelemahan Positivisme

Di antara kelemahan positivisme adalah:

Ø Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai sebagai akar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan manusia tereduksi ke dalam pengertian fisik-biologik.

Ø Akibat dari ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat diuji kebenarannya, maka faham ini akan mengakibatkan banyaknya manusia yang nantinya tidak percaya kepada Tuhan, Malaikat, Setan, surga dan neraka. Padahal yang demikian itu didalam ajaran Agama adalah benar kebenarannya dan keberadaannya. Hal ini ditandai pada saat paham positivistik berkembang pada abad ke 19, jumlah orang yang tidak percaya kepada agama semakin meningkat.

Ø Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia tidak dapat merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam positivistic semua hal itu dinafikan.

Ø Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak dapat menemukan pengetahuan yang valid.

Ø Positivisme pada kenyataannya menitik beratkan pada sesuatu yang nampak yang dapat dijadikan obyek kajiaannya, di mana hal tersebut adalah bergantung kepada panca indera. Padahal perlu diketahui bahwa panca indera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Sehingga kajiannya terbatas pada hal-hal yang nampak saja, padahal banyak hal yang tidak nampak dapat dijadikan bahan kajian.

Ø Hukum tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia sebagai teorisi yang optimis, tetapi juga terkesan lincar – seakan setiap tahapan sejarah evolusi merupakan batu pijakan untuk mencapai tahapan berikutnya, untuk kemudian bermuara pada puncak yang digambarkan sebagai masyarakat positivistic. Bias teoritik seperti itu tidak memberikan ruang bagi realitas yang berkembang atas dasar siklus – yakni realitas sejarah berlangsung berulang-ulang tanpa titik akhir sebuah tujuan sejarah yang final.

D. KESIMPULAN

Positivisme merupakan lanjutan dari faham rasionalisme dan empirisme, yang mana di dalam tahap positivistic, empirik dan naturalistic menggantikan otoritas pengetahuan teologis, serta pengetahuan metafisis. Disamping itu, dengan pemikiran empirik, rasional dan positive manusia akan mampu menjelaskan realits kehidupan tidak secara spekulatif, arbitrary, melainkan konkrit, pasti dan bisa jadi mutlak.

Dengan law of three stages dari Comte, yang pada akhirnya dapat membawa suatu perkembangan, kemajuan dalam hidup manusia dan ilmu pengetahuan berkembang. Akan tetapi, berkenaan dengan hal-hal yang tidak nampak, maka kita perlu untuk mempercayai dan membenarkannya, sehingga kita nanti tidak sampai kepada orang-orang yang mendapat gelar “Kafir” karena keingkaran kita akan eksistensi Allah SWT.

No comments: