MENGURAI BENANG KUSUT PENDIDIKAN DI INDONESIA
DALAM TINJAUAN ISLAM
Prolog
Masih segar dalam ingatan kita, bahwa bangsa yang kita cintai ini telah lebih 50 tahun merdeka. Namun mutu pendidikan masih jauh tertinggal dari negara-negara tetangga, sebut saja Jepang, India dan Malaysia. Jepang bisa bangkit dari kehancuran Perang Dunia II dengan memajukan pendidikannya, dan menjadi negara industri terkemuka di dunia, India dengan culture kesederhanaannya mampu membangun kualitas pendidikan yang cukup bersaing di tingkat International dan mampu memainkan peranannya di berbagai tingkatan Internasional, begitu juga dengan Malaysia yang pada tahun 1970 belajar dari guru-guru Indonesia yang didatangkan ke Malaysia, ternyata lambat laun mulai menjadi capital bagi Asia Tenggara.
Tidak berlebihan bila Profesor Toshiko Kinosita, Guru Besar Universitas Waseda Jepang, mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebab dasarnya karena pemerintah Indonesia selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Menurutnya, tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting dikarenakan masyarakat Indonesia, mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar materi untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berpikir panjang dan jauh ke depan.
Dalam konteks inilah, bagaimana Islam melihat posisi pendidikan dan menyikapi kompleksitas problematika yang ada di dalamnya?
Posisi Pendidikan
Dalam Islam, manusia sebagai anggota dari keseluruhan ciptaan Tuhan di bumi, memiliki posisi istimewa dibanding dengan makhluk lain. Sebagaimana firman Allah surat al Tiin ayat 4 "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya". Hal ini berarti bahwa manusia lebih sempurna dibandingkan dengan hewan, tumbuhan, jin, bahkan malaikat sekalipun.
Kemampuan potensial manusia itu pula yang mendorong manusia menerima amanah yang menurut Fazlur Rahman, berarti sebuah pcrjuangan bagi manusia untuk menciptakan sebuah tata sosial yang benmoral di atas dunia. Hal yang demikian, sebagaimana yang tertera dalam al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 72. "Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu, dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia.".
Dalam ayat yang lain term “manusia sebagai penerima amanah” menjadi “manusia sebagai khalifah” di muka bumi. Hal ini bisa dilihat dalam surat al-Baqarah ayat 30:
•
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan mensucikan Engkau?”. Tuhan berfirman:”sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. ”.(al Baqarah:30).
Ayat tersebut sangat jelas atas terpilihnya manusia sebagai khalifah di muka bumi dengan mengalahkan makhluk Allah lainnya yang bernama malaikat, padahal malaikat dikenal sebagai makhluk Tuhan yang selalu patuh atas perintah dan konsisten mengikuti peraturan-peraturan yang dibuat oleh Tuhan.
Untuk menunjang tugas utamanya sebagai khalifah, Tuhan memberi kemampuan bagi manusia memiliki ilmu pengetahuan. Hal ini sebagaimana yang tertera dalam surat al Nahl ayat 78.“ Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kalian pendengaran, penglihatan dan hati agar kalian bersyukur”.
Bahkan dalam surat al Baqarah ayat 31 terdapat satu kisah yang menempatkan manusia sebagai khalifah karena ia diberi ilmu oleh Tuhan.
Artinya: Dan dia mengajarkan kepada Adam nam-nama (benda-benda) seluruhnya. Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman:”sebutkanlah kepadaKu nama benda-benda itu jika kamu memangn orang-orang yang benar”.(al Baqarah:31).
Ada beberapa hal yang menarik dari ayat di atas. Pertama, Tuhan menggunakan kata yang mengindikasikan adanya proses pengetahuan. Kedua, pendidikan sebagai instrumen bagi manusia untuk memenuhi tugasnya sebagai pengelola di muka bumi yang tentunya harus mencerminkan keadilan, kemakmuran dan ketentraman. Dengan demikian, pendidikan memiliki posisi yang sangat signifikan dalam membangun masyarakat, termasuk membangun bangsa Indonesia.
Sebagai instrument, pendidikan tidak bisa berada dengan sendirinya. Ia akan wujud dan bisa diimplementasikan secara optimal bila ditopang oleh berbagai pilar fundamental yang sangat terkait. Untuk lebih jelasnya akan penulis paparkan berikut ini.
Pilar Pendidikan
Sebagai penopang eksistensi pendidikan, pilar-pilar pendidikan menempati posisi yang sangat urgen dan signifikan.. Pilar-pilar pendidikan yang dimaksud adalah; paradigma pendidikan, political will, dan managerial pendidikan.
a. Paradigma Pendidikan
Dalam realitas keseharian, kita sering mendengar ungkapan “ sekolah-tidak sekolah sama saja, karena banyak sarjana yang menjadi pengangguran”, ada lagi ungkapan “sekolah tidak terlalu penting karena para koruptor adalah orang yang berpendidikan”.
Bagi penulis, ada dua hal yang perlu digaris bawahi. Pertama, dari aspek opini masyarakat, dan kedua, dari aspek pelaku pendidikan. Kedua aspek tersebut mengarah pada satu titik, yaitu konstruksi paradigma pendidikan yang berorientasi pada materi. Artinya, pendidikan hanya dianggap sebagai instrument untuk mengeruk keuntungan materi belaka.
Akibatnya keahlian dan penguasaan IPTEK yang diperoleh seusai menamatkan studinya berada dalam posisi “dimiliki” secara individual dan “siap dijual” melalui kontrak kerja demi uang, dan bukan dalam posisi “menjadikan diri” sebagai ilmuan yang peduli dengan nilai-nilai kemanusiaan, bangsa, dan negara. Uang dan kekayaan materi benar-benar telah menjadi kekuatan-kekuasaan dan alat kontrol kehidupan yang mengantarkan individu yang bersangkutan ke tempat yang lebih tinggi, menyenangkan, aman dan terhormat.
Ironisnya ternyata banyak terjadi tinggi-rendahnya pendidikan yang telah dicapai tidak ada relevansinya dengan tinggi-rendahnya moral. Kejahatan dalam skala besar pada umumnya justru dilakukan oleh mereka yang telah menikmati pendidikan tinggi; padahal yang diharapkan makin tinggi jenjang pendidikan yang dilampaui, makin banyak amalan baik yang diharapkan untuk masyarakat atau kehidupan bersama. Dengan kata lain, makin tinggi jenjang pendidikan yang dilampauinya, makin tinggi pula moralnya.
Untuk itu, konstruksi pendidikan yang demikian harus digeser menjadi paradigma pendidikan yang progresif dengan menempatkan pendidikan sebagai instrumen untuk mencapai perubahan tatanan sosial masyarakat yang berkeadilan, tentram dan sejahtera. Hal yang demikian sesuai dengan semangat surat al Taubah ayat 122.
Artinya: Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (al Taubah:122.)
Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing serta memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik.
b. Political Will
Konstruksi Paradigma pendidikan yang telah ada harus ditopang oleh political will (kemauan politik) pemerintah di bidang pendidikan. Pemerintah yang ada seharusnya mengikuti jejak pendahulu yang sangat pro aktif dalam memajuan pendidikan bangsa.
Pada masa perjuangan kemerdekaan, kita dapat menilai bagaimana proses pendidikan dijalankan. Periode tahun 1908-1945 ditandai dengan kehadiran para pemimpin politik yang penuh dedikasi dan gigih dalam perjuangan di bidang pendidikan, sehingga mereka dapat dipandang sebagai tokoh sekaligus pemimpin politik yang pantas ditiru. Wahidin Sudirohusodo kala itu begitu yakin bahwa pendidikan merupakan solusi utama guna mengentaskan bangsa dari keterbelakangan dan kemelaratan. Demikian pula dengan Ki Hajar Dewantara yang mengemas pemikirannya tentang pendidikan dalam sebuah konsep sederhana namun begitu dalam filosofinya: Ing Ngarso sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani, yang artinya “di depan memberi contoh, di tengah membangun semangat, dan di belakang mengawasi”.
Begitu pula di awal masa kemerdekaan, masalah pendidikan nasional telah memperoleh cukup banyak perhatian dari elite politik yang ada. Jika kita membuka kembali lembaran sejarah, proklamator Bung Hatta merupakan salah satu tokoh yang gencar menyuarakan pentingnya pendidikan nasional bagi kemajuan bangsa sejak zaman kolonialisme.
Namun sebaliknya, pada periode 1959-1998 muncul pemimpin-pemimpin dan pelaku-pelaku politik yang tidak lagi berjalan dengan idealisme yang nasionalistik dan patriotik. Terlebih lagi pada masa pemerintahan Soeharto yang dianggap sebagian besar kalangan mulai mengenyampingkan isu tentang pendidikan. Pada saat itu kita lebih melihat pendidikan digunakan sebagai kendaraan politik bagi pemerintah untuk melakukan indoktrinasi terhadap rakyat. Hal tersebut ditempuh terkait dengan kekhawatiran akan timbulnya gejolak apabila pendidikan benar-benar diperkenalkan sepenuhnya. Mereka lebih banyak berasyik-masyuk dengan kepentingan kelompok, karena bagi mereka kekuasaan bukan lagi amanah namun kesempatan untuk memakmurkan diri, keluarga, dan teman-teman dekatnya. Sejak saat itulah pandangan terhadap dunia pendidikan dianggap tidak lagi menjanjikan segi finansial apapun, non issue, sesuatu hal yang mudah, sesuatu yang dapat ditangani siapa saja, sehingga wajar bila kemudian diketepikan dan digeser pada prioritas yang kesekian.
Dalam konteks kekinian, permasalahan pendidikan belum juga usai, hal ini terkait dengan masih rendahnya anggaran pendidikan yang oleh sebagian orang dianggap memperparah kualitas pendidikan nasional. Padahal dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, secara jelas pemerintah mempunyai suatu kewajiban konstitusi (constitutional obligation) untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD guna memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Demikian pula ditegaskan kembali dalam UU organiknya yaitu UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan harus dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD.
Berbagai kalangan, baik itu Pemerintah maupun Non-Pemerintah, berdalih bahwa sulitnya pemenuhan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dan APBD setidaknya disebabkan oleh dua permasalahan utama, yaitu: Pertama, kesalahan konstitusi (constitusional failure) yang menetapkan besaran angka persentase anggaran pendidikan dalam konstitusinya. Kedua, untuk pemerintah pusat, pemenuhan anggaran pendidikan terhalang besarnya beban pembayaran bunga dan cicilan pokok utang serta berbagai subsidi.
Menanggapi permasalah tersebut di atas, mencari kambing hitam atas ketidakmampuan Pemerintah dalam memenuhi kewajiban konstitusi (constitutional obligation) dengan menyalahkan ketentuan yang tercantum pada UUD 1945 dan kondisi “tragis” bangsa ini adalah hal yang tidak patut lagi dijadikan alasan, sebab hampir setiap pergantian kepemimpinan alasan tersebut selalu dijadikan dalih. Memang hingga saat ini baru Indonesia dan Taiwan yang secara tegas mencatumkan besaran angka persentase anggaran pendidikan di dalam konstitusinya, akan tetapi “menyesali” suatu ketentuan konstitusi yang pada kenyataannya sulit untuk dilaksanakan sehingga boleh dikesampingkan tidaklah dapat dijadikan sebagai suatu alasan pembenar (rechtsvaardigingsgrond).
Sudah seharusnya para pemimpin negeri ini sejak awal mengetahui betul secara sungguh-sungguh tugas utamanya, termasuk mempunyai visi yang jelas dalam mencari jalan keluar dari kondisi terburuk yang seandainya terjadi selama melaksanakan amanah yang diembannya. Lagipula, ketentuan-ketentuan pada UUD 1945 adalah grundnorm dari suatu negara itu sendiri, di mana grundnorm tersebut merupakan cerminan dari kesepakatan tertinggi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, mau tidak mau, suka tidak suka, Pemerintah harus melaksanakan amanah konstitusi secara mutlak, sebab hal tersebut sama artinya dengan menjalankan titah rakyat sepenuhnya, sebagaimana Thomas Paine pernah mengatakan, ”Constitutions is not the act of government, but the people constituing a government”.
Dengan gambaran problematika seperti itu, maka kita tidak bisa mengharapkan terjadinya lompatan peningkatan persentase anggaran pendidikan pada tahun-tahun mendatang tanpa adanya revolusi kinerja, reformasi birokrasi, dan kebijakan penganggaran yang ketat dan efisien. Sebagai alternatif, misalnya, pemerintah bisa mendesakkan pengetatan alokasi anggaran untuk pejabat pemerintahan. Teknisnya, persentase kenaikan anggaran untuk pejabat tidak boleh lebih tinggi dari persentase kenaikan anggaran untuk pendidikan atau dengan cara lain melakukan penundaan untuk “menerbitkan” badan-badan atau komisi pemerintahan baru yang terkadang tidak menyelesaikan masalah kepemerintahan namun justru menambah beban keuangan yang cukup besar.
Untuk itulah dibutuhkan kearifan pemerintah dalam mengambil kebijakan. Artinya, kebijakan yang diambil harus benar-benar menyentuh kemaslahatan umum yang memiliki orientasi kedepan. Tidak berlebihan bila dalam kaidah ushuliyyah diungkapkan: تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة “kebijakan pemerintah atas rakyatnya harus didasarkan pada kemaslahatan umum”.
c. Managerial Pendidikan
Di samping paradigma pendidikan dan political will, pilar fundamental lainnya adalah managerial pendidikan yang baik. Karena konsistensi tinggi dari seluruh jajaran birokrat yang terlibat dalam jalur pendidikan akan dapat menyelamatkan keuangan negara, sehingga hal tersebut akan sampai kepada pihak yang berhak menikmatinya. Bila tidak, bagaimana mungkin pendidikan akan membaik kalau masih ada satu atau dua pelaku pendidikan yang bermain di luar ambang batas toleransi nilai normatif.
Sebab, berdasarkan laporan-laporan hasil audit yang dilakukan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), setiap tahun selalu menunjukkan terjadinya sisa anggaran yang mencapai ratusan miliar rupiah, efisiensi dalam penggunaan dana, serta korupsi dan kolusi yang total mencapai triliunan rupiah. Laporan ini juga selalu menempatkan Departemen Pendidikan sebagai salah satu departemen terkorup. Eronisya, praktek KKN menjalar pada pelaku pendidikan di akar rumput. Dana pendidikan yang seharusnya sampai kepada siswa dengan utuh, malah disunat dengan dalih segala macam, sehingga siswa yang tidak mampu secara financial, masih kesulitan untuk menikmati pendidikan yang layak.
Sehingga dapat kita katakan bahwa masalahnya bukan hanya terletak pada pemenuhan kewajiban 20 persen anggaran pendidikan, akan tetapi juga harus difokuskan pada kemampuan manajerial dana di Departemen Pendidikan Nasional. Kalaupun misalnya DPR dan Pemerintah telah memenuhi persentase minimum itu, sementara manajemen internal Depdiknas dalam pengelolaan dana belum beres, maka dikhawatirkan dana besar itu justru akan membuka lumbung korupsi yang lebih besar.
Managerial pendidikan yang baik, tentunya tidak hanya mengarah pada pengelolaan dana, tetapi ia memiliki cakupan yang lebih luas, seperti penyesuaian orinetasi kurikulum dan sebagainya.
Penutup
Dari deskripsi di atas, kondisi pendidikan nasional di Indonesia masih cukup memprihatinkan. Itu semua terjadi dikarenakan kurangnya political will dari para pemimpin bangsa ini, dan kurang terarahnya paradigma pendidikan dan kurangnya baiknya managerial pendidikan.
Sektor pendidikan di Indonesia sudah sangat tertinggal, sehingga sudah waktunya pendidikan harus menjadi prioritas utama pembangunan. Mengingat akar masalahnya bukan sekedar pada alokasi anggaran pendidikan, maka seruan untuk melakukan perbaikan bukan hanya menyangkut soal terpenuhinya alokasi dana 20 persen dari APBN/APBD, tetapi yang tidak kalah penting adalah membangun kesadaran, komitmen, dan kemauan bersama dalam memajukan pendidikan Indonesia.
No comments:
Post a Comment