Monday, February 23, 2009

Jangan Lupakan Pendidikan Moral


Menjelang tahun ajaran baru, memilih sekolah menjadi kesibukan tersendiri bagi warga kota. Mereka menimbang-nimbang sekolah mana yang pas untuk tempat belajar anaknya. Apakah itu sekolah negeri atau swasta.
Sebagian warga memilih menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan yang memiliki kurikulum ganda. Selain mengajarkan ilmu pengetahuan umum, juga mangajarkan tentang moral, etika, dan agama. Tentu, tujuannya agar anak-anak mereka mendapatkan pendidikan agama dengan baik, disamping ilmu lainnya.
Kecenderungan itu menurut Rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Prof Dr Haris Supratno MPd disebabkan karena orangtua merasa tidak sempat mendidik putra-putrinya secara penuh. Lantaran aktivitasnya yang padat. ”Ya seperti saya sendiri. Namun, bukan berarti pendidikan keluarga dilupakan, tetap kita masih luangkan waktu,” kata Prof Haris yang ditemui di ruang kerjanya, Kamis (19/2).
Sekolah-sekolah elit, memang mempunyai kurikulum dan sarana-prasarana belajar yang memadai dibandingkan sekolah negeri. Jadi, wajar jika mereka menarik biaya yang tinggi. Entah namanya sumbangan uang gedung atau yang lainnya. Biaya yang tinggi bukan menjadi soal bagi golongan menengah atas. Asalkan anaknya betul-betul dapat terpenuhi pendidikannya antara moral dan intelektual.
Namun, harapan seperti ini belum tentu semua bisa berhasil. ”Sebab, di sekolah satu sisi didikannya baik, tapi di lingkungan keluarga suasananya kacau, pergaulan teman dan lingkungan tidak baik, ya tidak bisa berhasil,” ungkap Haris.
Ia menambahkan, pemerintah sudah mencanangkan pada tahun 2025, diharapkan terbentuk generasi insan kamil. Yakni generasi yang menguasai empat kompetensi. Pertama, kompetensi religi, bermakna harus menguasai ilmu agama sesuai keyakinan masing-masing. Tak hanya menguasai secara teori, tapi harus diimplementasikan dalam semua aspek kehidupan.
Kedua, kompetensi emosional dan sosial. Artinya anak didik harus dilatih, dibina, dan dibimbing agar dapat mengendalikan emosi. Peserta didik diharapkan menjadi generasi yang bisa menahan emosi, sabar dan ikhlas, sehingga dalam komunikasi dengan semua pihak akan harmonis.
Ketiga, kompetensi professional. Artinya peserta didik mempunyai keterampilan dan kepandaian sesuai dengan bidangnya masing-masing. Keempat, kompetensi kinestetik, artinya peserta didik sehat jasmani dan jiwa yang halus, karena proses pendidikan adalah suatu proses memanusiakan manusia.
Keempat kompetensi itu akan menghasilkan pendidikan kognitif, afektif dan psikomotorik. Namun sayangnya, baru sekolah elit yang menerapkan kompetensi ini.
Lantas, mungkinkah sekolah lainnya menerapkan hal tersebut? ”Rasanya belum mungkin. Karena sekolah-sekolah umum akan lebih mengutamakan ilmu umum, ya ilmu agama ada tapi hanya sedikit,” tuturnya.
Sebenarnya, sekolah umum tidak boleh melupakan dua hal, agama atau moral dan ilmu pengetahuan umum. Para guru, termasuk sekolah agama, harus tetap ingat bahwa dia adalah seorang pendidik. Dia harus mengajarkan kedua-duanya, seperti sikap dan perilaku. Tutur bahasa yang diperankan guru harus mencerminkan nilai-nilai yang luhur. Jadi, guru bukan hanya sebagai transformasi ilmu semata. Tapi juga harus memberi contoh yang baik. Etika moral dan religi disampaikan meskipun bukan berupa materi.
Baik secara langsung atau tidak langsung, dunia pendidikan sebenarnya juga bersaing. Bersaing untuk meningkatkan kualitas, bersaing untuk menyiapkan sarana dan prasarana sesuai kemampuan lembaga masing-masing. Bersaing menjadi nomor satu, sehingga memengaruhi jumlah siswa yang masuk ke sekolahnya

No comments: