Monday, February 23, 2009

Perang sebagai stimulus ekonomi


Bush : Perang Menciptakan Lapangan Pekerjaan
Biaya perang dan rentetan akibatnya yang harus dipikul Amerika, belum Inggris, Itali, dan lain-lain, tidak kurang dari Tiga Triliun Dolar, sebuah angka yang teramat dahsyat dan tidak diperkirakan semula akan setinggi itu”
Alasan Perang
Peningkatan belanja negara, sering digunakan saat ekonomi lesu dan banyak pengangguran. Seperti stimulus fiskal 50 triliun yang dianggarkan pemerintah Indonesia sekarang ini untuk membangun infrastruktur, disamping penurunan suku bunga sebagai stimulus moneter. Dalam kondisi krisis, negara harus sedikit lebih boros, kata Wapres Jusuf Kalla.
Perang, adalah peningkatan belanja negara di bidang pertahanan. Di saat perang semua yang diam akan bergerak, angka pengangguran pun turun karena banyak yang berangkat ke medan perang. Dana nganggur yang tadinya ditabung saja akan digunakan untuk konsumsi demi mengamankan diri sendiri, perputaran uang pun meningkat. Pada tahun 1990, Menteri James Baker menjawab alasan untuk melancarkan perang teluk adalah jobs, jobs, jobs (pekerjaan, pekerjaan, pekerjaan).
Dalam wawancara dengan Ann Curry dari NBC News, 19 Februari 2008, Bush dengan lantang mengatakan : “Perang Iraq menciptakan lapangan kerja, karena untuk melancarkan perang diperlukan banyak perlengkapan perang, dan untuk membuatnya banyak lapangan kerja tercipta di dalam negeri”
Di saat perang akan terjadi peningkatan pembelanjaan (spending), menggiatkan produksi, terutama produksi peralatan perang. Teori ini mungkin ada benarnya jika perang cepat selesai dan harus menang tentunya. Penyerangan terhadap Iraq misalnya, dilakukan pada saat pertumbuhan ekonomi stagnan (2%), pengangguran yang tinggi, dan utang yang semakin besar dan ancaman inflasi akibat kenaikan harga minyak. Dalam jangka pendek memang terbilang sukses, pertumbuhan ekonominya naik menjadi 4% dan terlihat sekali hal ini membuat Bush tambah pe-de dengan kebijakan perangnya itu.
Sewaktu penyerangan Iraq dilancarkan, pasar menyambut dengan gairah, indeks di Wall Street meningkat tajam lebih dari dua setengah persen. Para analis pasar percaya perang berlangsung singkat dan diikuti pemulihan yang cepat. Sentimen ini juga mengimbas pada bursa di Indonesia, karena indeks harga saham gabungan juga meningkat sebesar 2,4 persen di hari pertama penyerangan, artinya pasar modal di Indonesia pun mengiyakan kebijakan perang Bush untuk mendongkrak ekonomi Amerika dan dunia.
Mantan Ketua Bapenas, Kwik Kian Gie pernah mengatakan, ”Dalam sejarah, perang besar tidak pernah menyebabkan ekonomi lesu. Seperti perang Korea maupun perang Vietnam”
Logikanya, dengan adanya perang maka Amerika Serikat akan menggunakan berbagai senjata barunya, produksi di Amerika akan bergairah sehingga permintaan akan meningkat. Sisi lain, permintaan tidak hanya tumbuh di Amerika, negara lain juga akan terdongkrak, karena lokomotifnya ada di Amerika.
Untuk menyelamatkan ekonomi Amerika, tim ekonomi gedung putih memilih perang, dengan perang akan ada mobilisasi ekonomi (finansial, sumber daya manusia, dan sumber daya teknologi dan informasi). Alasan lain menyerang Iraq adalah ingin menguasai pasokan minyak, karena minyak sangat penting bagi negara yang rakus energi ini. Hitungannya, jika minyak stabil pasokannya, ekonomi akan lancar. Jika harga minyak melejit, akan mengganggu pertumbuhan ekonomi. Hal itu menyebabkan nilai impor minyak meningkat, biaya produksi meningkat, yang akhirnya akan menurunkan produktivitas. Produktivitas ekonomi yang anjlok, akan memerosotkan perekonomian, dan menghambat pertumbuhan kesempatan kerja.
Motif perang selalu ekonomi, entah merampas hak milik orang lain atau menjual senjata untuk dipakai orang lain. Amerika rupanya meyakini perang sebagai stimulus ekonomi, tanpa memperhatikan efek yang lebih parah, baik di Amerika sendiri maupun internasional.
Salah Perhitungan
Perang Teluk I (Bush Senior), berlangsung cukup singkat dan ‘hanya’ menelan biaya US$61 miliar, dari hitungan tersebut para petinggi militer Amerika memprediksi Perang Teluk II (Bush Junior), dapat diselesaikan dalam waktu tiga bulan dengan biaya US$ 75 miliar.
Nyatanya, para jenderal dan arsitek perang bukan saja keliru dalam memprediksi lama perang, melainkan juga salah besar dalam membuat perhitungan biayanya. Ditambah lagi harga minyak yang sempat tidak terkendali mendekati $150 per barel tambah membebani anggaran. Belum lagi badai Kathrina yang juga membutuhkan dana besar. Krisis finansial yang melanda juga di luar perhitungan Bush. Total jenderal, biaya perang yang telah dikeluarkan mencapai 1 Trilyun Dolar, jika dihitung total dengan biaya setelah perang malah mencapai 3 Trilyun Dolar, suatu kesalahan perhitungan yang sangat fatal.
Disimpulkan, Perang Iraq adalah proyek rugi Bush akibat kesalahan fatal memperhitungkan kalkulasi ekonomi-sosial-politik. Joseph Stiglitz dan Linda Bilmes dalam bukunya The Three Trillion Dollar War: the True Cost of the Iraq Conflict (Maret 2008), mengupas secara mendalam dan lengkap mengenai biaya ekonomi-sosial-politik yang harus ditanggung pemerintah dan rakyat Amerika. Stiglitz juga mengungkapkan, pemenang sejati dari perang Iraq bukanlah Amerika, bukan sekutu, apalagi rakyat Iraq, namun para perusahaan minyak dan para kontraktor alat-alat perang.
Dihitung-hitung lagi, rupanya lebih menguntungkan bagi Amerika untuk tidak secara langsung berperang, tetapi hanya memasok senjata pada negara yang didukungnya untuk berperang, seperti yang dilakukan sekarang ini di jalur Gaza.

Harapan Baru

Euforia kemenangan Obama sejenak melupakan kejengkelan masyarakat dunia terhadap Bush.
Ditengah keterpurukan eknomominya, Amerika masih mampu menggelar acara kolosal dengan baiay Rp 1,7 Triliun saat pelantikan Obama, dengan harapan Obama dapat memperbaiki ekonomi Amerika.
Krisis ekonomi Amerika diprediksi semakin memburuk di tahun 2009, perusahaan bangkrut dan pengangguran akan mendominasi berita-berita. Dengan kondisi seperti ini, Obama harusnya lebih pragmatis, dengan mengutamakan ekonomi dalam negerinya. Prioritas Obama harus lebih terfokus pada usaha menciptakan lapangan kerja baru, stimulus paket ekonomi, asuransi kesehatan, dan perbaikan pendidikan. Menyerang negara yang dianggap sebagai ancaman dalam jangka panjang malah membuat ekonomi makin memburuk. Acara ‘cuci gudang’ senjata atau ‘uji coba’ senjata baru hanyalah menguntungkan industri tertentu saja.
Walaupun kebijakan Amerika selalu dibayangi kepentingan-kepentingan segelintir orang saja, tetapi rakyat Amerika berhak menentukan kemana Amerika hendak dibawa.
Di masa depan, demonstrasi menentang Amerika pasti terus ada, bendera dan foto presiden Amerika selalu jadi sasaran untuk dibakar dan diinjak-injak, siapapun presidennya.
‘We can change’ adalah slogan yang diusung Obama, janji perubahan ini hendaknya ditepati Obama… jika tidak, sebaiknya Obama mulai berlatih menghindari lemparan sepatu.

No comments: