الحمد لله الواحد الأحد. الفرد الصمد. الذي لم يلد ولم يولد ولم يكن له كفوا أحد. وأشهد ان لا اله إلا الله وحده لا شريك له شهادة تكون سبب النعيم المؤبد. وأشهد أن سيدنا محمدا عبده ورسوله النبي المفضل المشرف المؤيد. اللهم صل على سيدنا محمد صلى الله عليه وعلى اله واصحابه ما ركع راكع وسجد. وسلم تسليما كثيرا.
أما بعد: فيا أيها الحاضرون. اتقوا الله تعالى في الضرات والمسرات. واعلموا أن الصلاة من أعمال الواجبات وللقربات. قال الله تعالى في كتابه الكريم
Hadirin sidang Jumu’ah rahimakumullah, marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah Swt., baik dalam keadaan senang, luang, susah ataupun dalam keadaan sempit. Sebab takwa merupakan manifestasi ketaatan seorang hamba kepada Allah. Di samping itu, hendaklah kita dalam beribadah senantiasa dilandasi karena cinta kepada Allah dan ikhlas, tulus senantiasa mengharapkan ridho-Nya. Sebagaimana dalam sebuah riwayat disebutkan: Tsaubah pernah berkata, saya pernah mendengar Rasulullah Saw., bersabda, “Berbahagialah orang yang ikhlas, karena ikhlas adalah cahaya hidayah dan karena disebabkan oleh ikhlas fitnah yang paling kejam akan menjauhinya”
Sidang Jumu’ah yang dimulyakan Allah, dalam kesempatan kali ini kami akan sedikit mengemukakan tentang jangan menuntut upah dalam beribadah.
Allah menciptakan jin dan manusia dimuka bumi ini diberi tugas untuk menyembah allah sebagaimana Firman Allah:
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya merka menyembah-KU. (adz-Dzariat 56)
Ayat lain menjelaskan :
Artinya: Wahai manusia, sembahlah Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa. (al-Baqarah 21)
Di sini, semua orang diperintahkan untuk menyembah Tuhan, kemudian dipertegas dengan memberitahukan bahwa Tuhan Itu adalah Allah sebagaimana firman Allah:
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي (طه: 14)
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.
Jama’ah jumu’ah rahimakumullah, perlu diketahui, bahwa Setiap hamba memiliki kemampuan dan kemauan dalam beribadah yang berbeda-beda. Ada yang rajin saum Senin-Kamis, ada yang khusyuk dalam salat, ada yang kuat dalam wirid, ada yang jujur dalam berdagang, dan ada pula yang tekun dalam mempelajari ilmu. Tekun dan rajin beribadahnya seorang hamba adalah tanda tingkat ma'rifat kepada-Nya. Banyaknya amal ibadah seorang hamba juga merupakan tanda sifat ihsan dalam dirinya.
Kemudian yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apa motivasi kita semua menyembah Allah? Apakah karena menginginkan surga atau karena takut dengan panasnya api neraka atau karena yang lain?
Mari kita tengok sebentar tuntunan para ahli tasawuf dalam memaknai untuk apa kita ibadah. Ibn Atha’ilah dalam bukunya yang sangat terkenal al-Hikam menjelaskan, Mata Talabta ‘Iwaddhan ‘ala Amalin, Tulibta Biwujudi sh-Shidqi fihi wa yakfilmuriba Wujdanu Salamah (Apabila engkau menuntut upah/pahala atas suatu amal perbuatan, pasti engkau juga akan dituntut adanya siddiq di dalam amal artinya dituntut kesempurnaan dan keikhlasanmu dalam amal perbuatan itu dan bagi orang yang masih ragu-ragu (belum sempurna di dalam amal) harus merasa cukup puas jika ia telah selamat dari siksaan).
Jama’ah Jumu’ah yang berbahagia, seringkali kita menuntut dan berharap kepada Allah untuk mengabulkan segala permintaan kita. Andaikata kita menuntut upah kepada Allah dari amal kebaikan kita, maka Allah pun akan menuntut kesempurnaan dan keikhlasan dari amal-amal kita. Bila demikian, sanggupkah kita memenuhi tuntutan tersebut? Sungguh berat untuk kita lakukan?
Maka, daripada menuntut Allah memberikan upah dan pahala, lebih baik kita menuntut diri menyempurnakan amal-amal yang kita lakukan. Insya Allah ketika kita bersungguh-sungguh melakukan yang terbaik untuk Allah, maka Allah pun akan memberikan upah terbaik pula bagi kita, tanpa diminta. Jumlahnya pun lebih banyak dari yang kita minta. Sebab, barangsiapa yang bersungguh-sungguh kepada Allah, maka Allah pun akan lebih bersungguh-sungguh kepadanya.
Sebenarnya, diterimanya amal yang kita lakukan saja, sudah merupakan keberuntungan yang teramat besar, walau tanpa disertai upah. Ibnu Atha′ilah kembali menegaskan kembali, Jangan menuntut upah terhadap amal perbuatan yang kau sendiri tidak ikut berbuat, cukup besar balasan (upah) Allah bagimu, jika Allah menerima amal itu.
Di sinilah terjadi perubahan paradigma berpikir. Kebahagiaan kita bukan lagi dari menerima hasil, kebahagiaan kita terletak pada proses menjalankan amal dengan cara terbaik. Maka, daripada sibuk memikirkan pahala shalat, lebih baik kita memikirkan bagaimana agar shalat kita bisa khusyuk, tepat waktu, berjamaah di masjid, dan berada pad shaf terdepan. Daripada memikirkan limpahan rezeki buah dari sedekah, lebih baik kita berpikir bagaimana kita bisa ikhlas bersedekah dan memberikan barang terbaik. Daripada memikirkan dapat memasuki pintu Ar Rayyan di surga, lebih baik kita berpikir dan berusaha melakukan shaum terbaik. Sehingga tidak hanya menahan lapar dan haus saja, tapi juga menahan pancaindra, hati dan pikiran dari yang diharamkan Allah. Demikian seterusnya.
Jika kita beribadah kepada Allah tujuannya menuntut pahala (pembalasan), berarti ibadahnya tersebut hanya masih untuk kepentingan nafsunya sendiri bukan ibadah untuk Allah.
Jama’ah jumu’ah yang berbahagia, Pada dasarnya semua perbuatan amal ibadah, ada imbalan di dunia dan di akhirat. Untuk itu kita semua harus mutayakkinan (meyakini hal itu), sebab allah itu kelumanane jembar. makanya ketika beribadah tidak usah berangan-angan tentang imbalan. Jika dalam ibadah masih angan-angan imbalan, itu namanya kurang percaya kepada allah, masih mencurigai Allah.
Jika kita di dalam beribadah kok angan-angan imbalan, nuntut ganjaran, maka
Nomer satu, berarti ibadahnya hanya untuk kepentingan nafsunya sendiri. Ibadahnya masih belum karena keagungan Allah. Padahal sesungguhnya ibadah kepada Allah itu karena keagungan Allah. Allah pantas disembah, pantas diibadahi sebagaimana ayat di atas.
Nomer dua, menawi kita semua ibadah karena nuntut imbalan, itu pembalasan hanya cukup selamat dari siksa. Selamat dari siksa diakhirat, sedangkan pemberian yang lain belum misalnya amal-amal yang lain yang kita lakukan iklas, kita tidak merasa.
Apa yang membedakan hanya selamat dari siksa dengan adanya imbalan? Mari kita ilustrasikan. Ada kejadian yang sangat berbahaya, semisal bencana tsunami. Si A mendpatkan pertolongan dan selamat dari bahaya tadi, ya hanya selamat saja tidak diberi apa-apa. Adapun si B disamping dia diselamatkan dari bahaya, ia juga diberi pakaian, uang dll, ada tambahannya.
Si B ini merupakan gambaran orang iklas beribadah bukan karena apa-apa, bukan karena nuntut imbalan, bukan karena kepentingan diri sendiri. Semacam ini akan diberi jazak (pembalasan) oleh Allah baik didunia dan akhirat, pembalasan yang sangat agung. Pembalasan diakhirat berupa bidadari, taman, istana dan jazak yang paling agung dan top adalah jazak melihat dzat Allah.
Syeh Al-Wasithi dalam syarah al-Hikam berkata : Al ibadatu ila thalabil afwi anha, aqrabu minha ila thalabil a’wadhi ’alaiha (ibadah-ibadah itu lebih dekat kepada mengharap maaf dan ampun daripada mengharap pahala dan upah). Artinya di dalam ibadah mengandung dua hal. Yaitu dalam ibadah masih mengandung kesembronoan dan kekurangsempurnaan ibadah. contoh shalat, harusnya bacaannya harus tepat, tadabburul ma’na (angan-angan makna) disamping juga mengingat allah (aqimishalat lidzikrillah). Nah kita evaluasi shalat kita. Kadang kita shalat itu bacaannya kurang pas contoh baca tahiya ....tatttt sembrono kan, dll
Oleh karena itu, ibadah shalat kita itu seharusnya lebih dekat untuk minta ampun kepada Allah karena ibadahita banyak sembronone kurang sempurnane dan ditambah lagi riyak tambah maneh kurang iklas, ini yang dinamakan dengan ma’lul (dimasuki penyakit) oleh karena itukita wajib minta ampun. Lha nyambut gawe gak tepak kok nuntut ongkos. Tukang minta ongkos nik gawenane bener. Seng bener yo jaluk ampun bukan minta ongkos.
Oleh sebab itu, Rasulullah, sahabat dan para ulama memberikan tuntunan untuk selalu membaca istighfar ketika selesai shalat andaikata shalat yang kita lakukan tadi masih banyak sembronone dan kurang sempurna.
Sedang di dalam syarah Annashrabadi dijelaskan bahwa ibadah bila diperhatikan kekurangan-kekurangannya lebih dekat kepada mengharap maaf dari pada mengharap pahala dan upah. ”Ya allah tugas saya dari engkau saya laksanakan, namun tidak bisa sempurna, untuk itu saya mohon maaf”. Bukanya malah minta ganjaran, gusti ganjarane pundi.
Allah berfirman yang artinya : Katakanlah hanya karunia dan rahmat allah mereka boleh bergembira sebab itu lebih baik bagi mereka dari segala apa yang dikumpulkan oleh mereka sendiri.
Kita beribadah itu mengumpulkan amal. Amal-amal yang kita kumpulkan dibandingkan dengan fadhal (karunia) dan rahmat Allah, masih jauh lebih besar fadhal dan rahmat Allah.
Untuk itu, setiap kali berdoa hendaklah kita tambah dengan ucapan Ighfirlana ya Allah2x fainna maghfirataka awsa’u min dzunubina warhamna ya Allah 2x fainna rahmataka arjalana min jami’i amalina (Ya Allah, ampunilah kami, ampunilah kami, karena sesungguhnya ampunanmu lebih luas dari dosa-dosa kami. Dan rahmati kami ya Allah, karena sesungguhnya rahmat Mu lebih bisa kami harapkan daripada semua amalan-amalan kami)
Oleh karena itu, dalam beramal jangan sampai kita njagakno amal yang telah kita lakukan, sebab amal kita penuh dengan kesembronoan dan kekurangan, sebaliknya yang kita harapkan adalah minta fadhal dan rahmat Allah. Jika kesembronoan dan kekurangan terjadi tetapi kalau Allah menyayangi kita, maka hal itu tidak jadi masalah.
بارك الله لي ولكم في القران العظيم ونفعني وإياكم با لايات والذكر الحكيم, وجعلنا وإياكم من المصلين وأد خلنا وإياكم من المتقين . وقل رب اغفر وارحم وانت خير الراحمين.
No comments:
Post a Comment